Di Indonesia, ada 1,7 juta pekerja anak pada 2010. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dengan jumlah pekerja anak tertinggi di dunia. Salah satu penyebabnya, kemiskinan. Kemiskinan pula yang membuat pendidikan jadi sebatas impian. Heriyanto tak mau begitu. Sempat putus sekolah dan harus bekerja jadi pemulung, tak menyurutkan cita-citanya. Bagaimana perjuangan Heriyanto untuk kembali bersekolah? Reporter KBR68H Rumondang Nainggolan bertemu dengan Heriyanto yang kini melanjutkan sekolah sambil berjualan telur asin.
Audio Saga bisa disimak di sini.
BLOK I
ATMOS: Suara anak ketawa, ngobrol sambil nanya-nyanya
KBR68H: Untuk 100 telur perlu berapa garamnya?
HERI: 100 telur garamnya perlu ½ kilo
KBR68H: Abu gosoknya?
HERI: 5 bungkus
Heriyanto tengah mengajarkan cara pembuatan telur asin kepada sejumlah siswa di SMP gratis Ibu Pertiwi, Jakarta.
KBR68H: Abu gosok, garam terus apa lagi?
HERI: Udah itu aja
KBR68H: Pake air lagi gak?
HERI: Pake air
KBR68H: Ntar dibalut satu-satu atau gimana?
HERI: Iya satu-satu.
KBR68H: Habis itu didiamin
HERI: Iya
Heri bukanlah sosok asing di sekolah ini. Ia baru tahun lalu lulus dari SMP gratis Ibu Pertiwi. Heri kini bersekolah di SMK Keluarga Widuri, fokus pada pelajaran tata boga.
ATMOS: Suara anak ketawa, ngobrol sambil nanya-nyanya
Kemampuan Heri membuat telur asin bukan sekadar ilmu di kelas. Ini pula yang mampu membuatnya hidup lebih mandiri. Ia membuat dan menjual telur asin untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Sudah hampir dua tahun ini Heri dan adiknya hidup mandiri di sebuah kontrakan. Tak lagi jadi pemulung, seperti orangtua mereka.
ATMOS: Suara anak ketawa, ngobrol sambil nanya-nyanya
Bersekolah adalah perjuangan bagi Heriyanto. Selepas lulus SD di kampung, ia dijemput orangtuanya untuk tinggal di Jakarta. Dijanjikan bakal sekolah lagi. Tapi karena tak ada biaya, Heri diminta bekerja jadi pemulung.
HERI: Kan saya udah beberapa kali nanya sama orang tua, Pak kapan sih saya mau disekolahin SMP? Ntar ya Her ntar katanya. Udah beberapa kali saya nanya dan akhirnya jawaban terakhirnya, ya udah Her kamu bantuin Bapak mulung aja, bantu-bantu orang tua cari uang gitu
Heri lantas menjadi pemulung sekitar setahun. Sembari terus menyimpan keinginan untuk sekolah.
HERI: “Tiap pagi pas mulungkan berangkat pagi kadang malam. Kalau berangkat pagi orang-orang berangkat sekolah, saya cuma berangkat mulung pake gerobak, bawa karung, bawa ganco. Saya juga sering ngeliatin anak-anak pulang sekolah, pergi sekolah, gimana senangnya mereka di perjalanan.”
Sampai akhirnya ia bertemu Ade Pujiati. Saat itu Ade tengah mencari murid untuk SMP gratis yang dibuatnya untuk pekerja anak di jalanan.
ADE: “Ketika saya sedang menempel-nempelkan brosur, pamflet tentang mau berdirinya sekolah ini saya masuk ke lapak di Pancoran dekat komplek Perdatam. Waktu itu saya ketemu Heri, seorang pemulung yang sedang lewat. Terus saya tanya, ‘Dek, dek, Anda sekolah enggak?’ Dia bilang ‘Enggak.’ Mau sekolah gak? Terus dia jawabnya ragu-ragu, ‘Saya tanya Bapak dulu ya’ katanya. Terus saya bilang saya cuma mau tanya kamu mau sekolah atau tidak? Oh mau tapi saya harus minta izin dulu. Kelihatannya anaknya pintar terus gak grogian.
Orangtua Heri tak setuju. Mereka lebih memilih Heri bekerja jadi pemulung, menambah penghasilan keluarga. Justru adik Heri yang diizinkan untuk sekolah.
Ade akhirnya berhasil meyakinkan orangtua Heri soal pentingnya sekolah. Ia pun membawa kakak adik itu kembali ke bangku sekolah. Mereka menjadi dua murid pertama untuk SMP gratis Ibu Pertiwi. Tahun itu, total 27 anak pemulung dan pekerja jalanan yang bersekolah di sana.
ATMOS: Belajar di SMP Ibu Pertiwi
Heri senang bisa kembali sekolah. Walau ia sudah lulus SD, bersekolah lagi membuat Heri seperti harus mulai segalanya dari awal.
HERI: “Untuk tulisan bagus aja Ibu Ade nyuruh saya kayak anak kelas 1 lagi, nulis A sampai selembar, B selembar. Oh ternyata kayak gini sekolah SMP, saya baru tahu ya saya jalani aja. Awalnya sih saya banyak juga melakukan pelanggaran di sini karena belum tahu, kok aneh banget ya peraturan di sini. Ya akhirnya karena selama 3 tahun di sini, pas kelas 2 saya tahu seluk beluk aturan di sini dan berusaha menjalaninya.”
SMP Ibu Pertiwi memang punya aturan yang ketat. Misalnya, sepatu dan sandal harus diletakkan rapi di tempatnya.
Di sini, Heri belajar juga aneka keterampilan dan wirausaha. Misalnya belajar membuat telur asin, tempat pensil dan anyaman keranjang sampah. Sepulang sekolah, Heri tetap membantu orangtuanya sebagai pemulung. Orangtua memaksa Heri berhenti sekolah.
HERI: “Kamu gak bisa bantu orang tua kamu sibuk dengan sekolah kamu saja, kamu gak bisa bantu orang tua sama sekali. Ya udah kamu berhenti aja, gak usah sekolah, mending bantu-bantu orang tua, ketahuan bapak ibu bisa kebantu sama kamu. Saya udah beberapa kali disuruh berhenti sama orang tua saya, sampai 5 kali. Sampai-sampai saya ngomong ke bu Ade, bu saya mau keluar disuruh orang tua saya tapi saya pengen tetap sekolah. Terus bu Ade juga terus support saya supaya tetap sekolah.”
Heri kabur dari rumah, tak tahan karena orangtua melulu memaksanya berhenti sekolah. Ia kabur dari rumah bersama adiknya, ketika Heri tengah menjalani pengobatan penyakit paru-paru, akibat terlalu sering memulung sampah di tengah malam.
HERI: “Satu saya pengen sekolah aja ntah bagaimana caranya. Yang membuat saya nekad keluar dari rumah karena saya udah punya bekal, udah bisa produksi telur asin, tempat tisu jadi saya yakin bisa hidup mandiri tanpa orang tua. Satu lagi saya pengen tetap sekolah, gimanapun caranya saya tetap harus sekolah, karena saya ingin membantu orang tua, pengen memutuskan tali kemiskinan yang ngikat keluarga saya.”
Orangtua Heri dengan marah mendatangi sekolah Ibu Pertiwi. Heri dan adiknya tak mau diajak pulang orangtuanya. Ade Pujiati, pendiri SMP Ibu Pertiwi, lantas memanggil polisi, menyerahkan masalah ini ke Komnas Anak.
ADE: “Di situ dipisahin polisi. Polisi bilang gak bisa ambil Heri tapi harus ke Komnas Anak dulu. Besoknya saya antar ke Komnas Anak terus dimediasi oleh Komnas"
Emed, ayah Heri, merasa terpukul dengan kepergiaan kedua anaknya dari rumah. Ia sempat tak terima tudingan Komnas Anak, bahwa ia menghalangi niat anaknya untuk sekolah.
EMED: “Kalau saya bukan gak boleh sekolah. Orang tua sama anak tuh pengennya nyekolahin tinggi cuma keadaannya bagaimana. Jangan melihat ke atas tapi melihat keadaan orang tua bagaimana, kan gak mampu, pengen nyekolahin anak. Cuma keadaannya begini, cari makan aja susah. Sebenernya orang tua tuh kepengen ngasih apa adanya cuma keadaannya begini.”
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait ingat saat ia menangani kasus ini. Ia menilai ada unsur eksploitasi di sana, karena orang tua lebih memilih anak bekerja dibandingkan memberi anak kesempatan bersekolah.
ARIST: "Oleh karena itu kita panggil orang tuanya, suami isteri kita panggil karena memang dari keluarga miskin kita jelaskan bahwa ini merupakan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Lalu kemudian adalah tindakan pidana mendorong anak untuk bekerja dalam konteks eksploitatif. Jadi kita undang ke sini, anaknya juga kita undang, bapak ibunya kita undang, karena diberi pengertian akhirnya bisa menerima anaknya untuk meneruskan sekolah."
Akhirnya Heri dan adiknya, Sepri, tinggal bersama salah satu guru SMP Ibu Pertiwi. Ketika Heri lulus dan melanjutkan sekolah di SMK, mereka mengontrak rumah dekat sekolah. Siswa jurusan Tata Boga di SMK ini duduk di peringkat 4 kelasnya, semester lalu. Fadhilah, wali kelasnya, bangga akan prestasi bekas pemulung ini.
FADHILAH: “Gak banyak bicara tapi mau kerja dan dia anak yang tidak mau atau HP aja tidak punya, Facebook aja tidak kenal. Karena dia tahu kemampuan dia, keuangan dia kalau HP itu harus pake uang beli pulsanya. Kalau Facebook harus ke internet, pokoknya ngeluarin duit kan. Sementara dengan berkecimpung dengan teman, anak jaman sekarang yang pengen HP, ganti HP, Facebook, motor, ia bisa menepis itu semua dan tetap maju. Nah itu kualitas anak sekarang seharusnya begitu tapi jaman sekarang susah.”
Heri bukan satu-satunya anak jalanan yang harus berjuang demi sekolah. Mengapa ini terus terjadi?
Blok II
Sepri sempat takut ketika diajak kakaknya, Heri, meninggalkan rumah, demi tetap bersekolah.
SEPRI: “Pisah sama orang tua takutnya dianggap durhaka, ngelawan orang tua. Tapi saya dapat masukan dari guru-guru sebenarnya kalau demi kebaikan, pisah sama orang tua boleh-boleh aja asal jangan seperti ngelawan orang tua, keterlaluan. Inikan demi kebaikan keluarga juga kalau saya sama kakak saya udah maju, udah bisa sekolah tinggi itu jugakan bisa mengangkat derajat orang tua.”
Heri dan adiknya adalah bagian dari 1,7 juta anak di Indonesia yang jadi pekerja, sesuai data Organisasi Perburuhan Internasional tahun 2010. Mereka tak sekolah, tapi bekerja membantu orangtua, mencari nafkah untuk keluarga.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, ini banyak terjadi di masyarakat ekonomi rendah.
ARIST: “Tetapi karena orang tua belum menganggap pendidikan itu bukan prioritas dalam keluarganya dan masih mengedepankan anak menjadi aset untuk menindaklanjuti kehidupan dari keluarga itu, itu yang dipilih. Akibatnya memang di situ terjadi praktek eksploitasi, mendorong anak atau menstop anak karena ketidakmampuan orang tua untuk tidak sekolah lalu mendorong menjadi pekerja baik di jalan maupun sektor formal dan non formal.”
Kemiskinan membuat orangtua Heri meminta sang anak berhenti sekolah dan kembali bekerja. Meski ada tawaran sekolah gratis di SMP Ibu Pertiwi, orangtua bergeming. Bagi ayah Heri, Emed, mengisi perut lebih penting ketimbang mengisi isi kepala.
EMED: “Saya dulu sering ribut dengan dua anak itu namanya juga kesusahan, orang susah gimana sih bu. Perasaan saya dulu itu susah banget, kalau gak dibantu anak sulit dah cari makan.
Orang yang mempekerjakan anak juga punya andil, tambah Arist.
ARIST: “Corporate atau perusahaan, orang yang mempekerjakan pembantu rumah tangga sudah tahu anak-anak masih juga mempekerjakan, industri juga sudah tahu dilarang tetap mempekerjakan. Kenapa? Karena lebih menguntungkan dari orang dewasa, kalau di industri gajinya lebih kecil dari orang dewasa biasa, tidak masuk organisasi dan seterusnya, gampang diatur. Jadi artinya mempekerjakan anak faktanya lebih menguntungkan, baik pembantu rumah tangga, sektor formal dan non formal.”
ATMOS: Bincang-bincang tentang telur dan buka warung
Kini kondisi sudah lebih baik untuk Heri. Orangtua akhirnya mengizinkan Heri dan adiknya untuk terus sekolah. SMP Ibu Pertiwi memberikan beasiswa biaya hidup sehari-hari, 550 ribu rupiah per bulan. Pendiri SMP Ibu Pertiwi Ade Pujiati menilai, Heri dan adiknya berhak mendapatkan beasiswa tersebut.
ADE: “Satu karena perjuangan mereka mempertahankan sekolah. Kedua, anaknya bandel tapi masih wajar lah, akhlaknya masih oke. Jadi kita kasih karena dia berjuang mati-matian untuk mempertahankan sekolahnya, kedua berjuang keras untuk ikuti aturan dan itu susah sekali. Bisa dibayangkan orang yang tidak terbiasa dengan aturan, seumur hidupnya suka-suka tiba-tiba masuk ke tempat yang penuh aturan.”
Begitu masuk ke SMK Keluarga Widuri, Heri pun mendapatkan beasiswa SPP sampai tamat sekolah.
Heri dan adiknya menyambung hidup dengan berjualan telur asin, sambil terus bersekolah. Mereka menjualnya ke guru di sekolah, tetangga dan warteg dekat kontrakan. Heri punya tips khusus untuk meyakinkan calon pembeli akan kualitas telur asin buatannya.
HERI: “Suruh cobain terus gimana enak gak. Udah gitu saya terangin cara pembuatannya, kualitasnya, terus telurnya juga ada jaminannya dari saya, kalau busuk pas dibeli dari saya itu boleh dikembalikan lagi.”
Guru-guru di SMK Keluarga Widuri jadi pelanggan tetap telur asin buatan Heri. Guru Kewirausahaan Badriah mengakui kualitas telur asin Heri, sehingga jadi favorit keluarganya.
BADRIAH: “Bedanya, asinnya pas, kuningnya juga berminyak itukan yang enak. Kalau yang biasa kadang-kadang suka bau dan kuningnya gak terlalu kuning, dia agak putih. Terus yang inikan gede-gede jadi lumayan, kalau yang biasa kecil-kecil.”
Pembina Osis SMK Keluarga Widuri, Kurtubi menilai Heri tumbuh menjadi sosok pekerja keras dan penuh semangat karena dipicu dari kekurangan yang dialaminya. Heri juga aktif sebagai pengurus OSIS di sekolahnya.
KURTUBI: “Di satu sisi dia punya kekurangan tapi di sisi lain itu menjadi pemicu dia jadi lebih semangat dan memang oleh orang tua asuhnya didorong untuk itu. Untuk lebih semangat menjadi hal yang kurang untuk ditutupi dengan segala macam cara tentunya dengan hal yang baik termasuk untuk menutupi kekurangan ongkos hidup.
Heri berhasil hidup mandiri. Mendapatkan penghasilan sekitar 300 ribu per bulan, jauh lebih besar ketimbang jadi pemulung seperti dulu. Semangat Heri bersekolah tak pelak membuat ibunya, Yatmini, bangga.
YATMINI: “Ya saya sudah sangat bahagia. Kalau lihat dari orang tua gak mampu udah dapat bantuan ya alhamdulilah gitu. Saya benar-benar bahagia, benar-benar bangga sama anak saya. Katanya di sekolah SMK juga denger-denger rankingnya juga bagus, nilainya bagus. Mudah-mudahan jangan sampai mengecewakan orang tua.”
Masa depan Heri sudah lebih jelas sekarang. Bersekolah di SMK, berjualan telur asin, juga mengajar anak jalanan dan putus sekolah di SMP Ibu Pertiwi. Kelak, Heri ingin punya restoran sendiri.
HERI: Seorang pengusaha itu bisa membuka lapangan pekerjaan. Sekarangkan banyak pengangguran jadi saya ingin membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran itu. Apalagi sekarang susah cari kerja untuk tamatan SD, SMP, SMApun sekarang susah. Jadi saya ingin buka usaha
KBR68H: Kamu punya impian pengen buka usaha apa?
HERI: Pengen usaha restoran
KBR68H: Kenapa pilih restoran?
HERI: Karena sesuai jurusan saya sekarang tata boga, saya bisa masak, Insya Allah bisa tercapai
Demikian Saga yang disusun reporter KBR68H, Rumondang Nainggolan.
No comments:
Post a Comment