Friday, March 20, 2009
Komunitas Penikmat Buku Silat
Buku bacaan dengan latar belakang budaya Tionghoa terhitung unik dibandingkan buku fiksi lainnya. Setiap buku disandingkan dengan ajaran budi pekerti serta filosofi hidup yang kental. Tapi keberadaan buku bacaan seperti ini sudah makin jarang ditemui di pasaran. Reporter KBR68H Anto Sidharta menemukan adanya keterkaitan antara kebijakan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa saat Orde Baru terhadap penjualan buku-buku ini.
Thursday, March 19, 2009
Meriahnya Radio Gogali
Sumba Tengah adalah kabupaten baru hasil pemekaran di NTT. Kabupaten berpenduduk 67 ribu orang ini belum punya satu media pun. Akses informasi sangat minim. Tepat sebulan lalu, KBR68H kemudian mendirikan Radio Gogali, radio komunitas yang segera saja disambut antusias oleh warga dan pemerintah setempat. Sebelum radio ini resmi mengudara pun, warga dan pemerintah setempat sudah antusias menyambut kehadiran satu-satunya radio di wialyah mereka ini. Kontributor KBR68H Shinta Ardhany memotret kegembiraan dan perubahan yang dibawa Radio Gogali.
Audio: Suasana dering telpon radio
Dering telfon berbunyi tak putus-putus di studio Radio Gogali, Sumba Tengah, NTT. Saat itu tengah berlangsung dialog interaktif dengan narasumber Bupati Sumba Tengah, Umbu Sappi Pateduk.
Audio: Suasana dering telpon radio
Melky Suruk yang tengah memandu siaran sampai kewalahan. Satu penelfon berhenti, menyusul penelfon berikutnya. Puluhan penelfon memadati waktu siaran yang hanya berlangsung satu jam.
Audio: Suasana siaran Melky diantara dering telfon
Untuk radio lain, mungkin biasa saja. Tapi ini luar biasa bagi Radio Gogali yang kala itu masih dalam masa percobaan siaran, belum resmi mengudara.
Seny Dortia Bilaut, warga Anakalang, Sumba Tengah, mengaku senang dengan kehadiran Radio Gogali. Selama bertahun-tahun, fasilitas radio di telfon selularnya tidak berfungsi. Kini, Seny bisa mendengar informasi kapan saja, di mana saja.
Audio: (Gogali pertama dia adalah satu-satunya radio yang muncul di Sumba Tengah setelah pemekaran, dari fasilatas Hp kan ada radionya kita bisa fungsikan selama ini tdk difungsikan karena medianya tidak ada. Paling tidak kita senang untuk menghibur lelah penat apalagai acaranya saya pikir cara dia ada menghibur kita bagus sekali)
Sebagai daerah hasil pemekaran, Sumba Tengah tergolong daerah tertinggal. Fasilitas umum seperti rumah sakit, kantor polisi serta gendung pemerintahan, belum memadai. Begitu juga sarana informasi. Koran tak mudah dibeli, hanya oleh keluarga pejabat atau kaum terpelajar. Sementara TV, tak banyak warga setempat yang punya, kata tokoh masyarakat Anakalang, Sumba Tengah, Umbu Neka Jarawuli.
Audio: (Kehadiran Gogali bantu masyarakat dalam kaitan serap informasi. Tidak semua masyarakat punya TV, adanya radio ini masyarakat terima kasih. Koran? Belum ada. Koran-koran besar kadang 1 bulan satu kali baru sampai disini, karena masalah komunikasi darat transportasi kalo hanya dalam satu minggu sekali datang dan itu belum tentu datang dengan jumlah yang besar.)
Sulitnya mengakses informasi juga dirasakan ibu rumah tangga di Sumba Tengah. Tak ada sarana untuk menggali informasi soal rumah tangga, pendidikan anak dan kesehatan. Kalaupun ada majalah, hanya dibaca kelompok terbatas. Istri Wakil Bupati Sumba Tengah Rambu Jajul mengatakan, di Gogali, semua kebutuhan informasinya terpenuhi.
Audio: (Pengetahuan rumah tangga yang saya dengar dari radio ini bagus sekali tentang pendidikan anak, untuk rumah tangga banyak hal yang kami tahu)
Radio Gogali pun menjadi media komunikasi antar warga. Warga tak segan menelfon ke studio untuk berinteraksi, bahkan kalau harus pakai telfon selular yang terhitung mahal. Tokoh masyarakat Anakalang, Sumba Tengah, Umbu Neka Jarawuli.
Audio: (Telpon? Sering dalam berbagai kesempatan. Motivasi merangsang masyarakat. Radio ini sangat bermanfaat. Pulsa sendiri tidak rugi karena saya punya kemauan sendiri membesarkan radio secara menyeluruh, tersosialisasi dengan baik)
Tak hanya warga yang antusias dengan kehadiran Radio Gogali. Kalangan pejabat Sumba Tengah sudah mengantri menjadi narasumber radio ini. Dari BUpati, Ketua DPRD sampai Kepala Dinas.
Audio: Suasana talkshow di Gogali
Salah satu dinas yang sering memanfaatkan Radio Gogali adalah Dinas Pertanian. Kebanyakan dipakai untuk sosialisasi, kata Kepala Dinas Pertanian Sumba Tengah Martinus Jurumana. Cocok, hampir 80 persen warga setempat berprofesi sebagai petani.
Audio: (Pernah memanfaatkan untuk penyuluhan hukum kehutanan untuk info alih tekhnologi, penerapan tekhnologi usaha tani, bisa juga untuk pengembangan tekhnologi jagung. Kerja sama? Sudah dari dulu, moril dan materiil)
Kehadiran radio ini juga dianggap ikut mempermudah tugas-tugas pemerintah dalam melayani masyarakat. Wakil Bupati Sumba Tengah Umbu Dondu mengatakan, lewat siaran radio, panjangnya mata rantai birokrasi bisa diputus.
Audio: (sebelum ada radio untuk sosialisasi kepada masyarakat terpaksa mengundang masyarakat dari kantor kecamatan, kantor desa, kirim surat dari kantor kecamatan sampai ke tingkat desa)
Dinas Kependudukan sudah merasakan efektifnya radio sebagai media komunikasi. Begitu bersiaran soal aturan pengeluaran KTP bagi warga Sumba Tengah, dinas langsung kebanjiran pengajuan pembuatan KTP. Kepala Dinas Kependudukan Sumba Tengah Umbu Besi.
Audio: (sebelumnya melalui surat tapi lebih efektif kalau masyarakat dengar langsung. Peran Radio ini? dengan media ini hamper tiap hari numpuk dikantor untuk urus KTP Akte.)
Pemerintah setempat sudah ancang-ancang akan memanfaatkan Radio Gogali secara optimal. Sudah ada keputusan, seluruh program dari kantor dinas harus disampaikan lewat radio ini.
Audio: (Pak Bupati sudah menegaskan ke semua Dinas. Media ini efektif untuk sosialisasikan program-program yang kita jalankan. Diminta tiap satuan kerja untuk memanfaatkan ini. Rata-rata persiapkan program yang bisa disalurkan lewat radio Gogali)
Audio: Suasana talkshow di Gogali
Kehidupan Sumba Tengah berubah seiring hadirnya Radio Gogali. Meski burung gogali yang asli Sumba Tengah sudah punah, akses informasi justru baru terbuka lebar lewat kehadiran radio komunitas ini.
Audio: Suasana siaran di antara dering telfon
Audio: Jingle Gogali
Dari sebuah bangunan yang dulunya Kantor Desa Wairasa, Kecamatan Katikutana, Sumba Tengah, Radio Gogali mengudara. Menyapa ribuan warga yang ada di lima kecamatan di Sumba Tengah, serta dua kecamatan di Sumba Barat dan Timur. Radio ini lewat bantuan KBR68H pada November tahun lalu, dengan bantuan dari Pemerintah Belanda. Direktur KBR68H Santoso mengatakan, Radio Gogali adalah radio pertama dan satu-satunya di kabupaten baru hasil pemekaran ini.
Audio: ( ada tiga tujuan pendirian radio Gogali. Pertama menjadikan radio Gogali sebagai sumber informasi untuk pencerdasan masyarakat. Kedua ingin menggunakan radio Gogali untuk sarana pendidikan yang dibutuhkan dan yang ketiga radio Gogali dapat dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat. Agar masyarakat tidak stress. Untuk menguatkan fungsi radio, KBR masih akan mendampingi Radio Gogali dalam satu tahun ini) .
Sadar akan tingginya antusiasme pendengar, kru Radio Gogali juga bersiap-siap. Mereka membekali diri dengan pengetahuan yang cukup. Untuk itu, kata Fengky Jami, salah satu penyiar, mereka rela merogoh kocek sendiri.
Audio: ( untuk memenuhi kebutuhan pendengar kami banyak cari dari koran dan buku-buku contoh di ruang keluarga bisa hadirkan resep-resep makanan. Dan itu lebih banyak dicari dari buku-buku kemudian diimplementasikan ke radio)
Untuk bersiaran pun, para penyiar ini tak digaji.
Audio: suara siaran radio
Sebagai radio komunitas, kesejahteraan kru radio tak bisa disandingkan dengan penyiar radio komersil. Penyiar pun tak ada yang murni berlatar belakang penyiar. Ada yang ibu rumah tangga, gunu honorer, aktivitis LSM sampai remaja. Rambu Jeny adalah salah satu ibu rumah tangga yang kini bergabung sebagai penyiar di Radio Gogali.
Audio: ( Ikhlas tinggalkan pekerjaan dirumah. Demi masyarakat. Kenapa tergerak melayani masyarakata? Karena masyarakat disini masih lemah sekali, kalo tidak ada dukungan dari kita support kita sendiri dari sini masyarakat tidak akan punya inisiatif, penyiar dorong masyarakat terus maju)
Untuk melayani masyarakat, itulah moto Radio Gogali. SDM boleh terbatas, tapi semangat tak bisa dibendung.
Audio: Musik Sumba
Audio: ( saat ini saya berada Desa Waibakul Kecamatan Katikutana Sumba Tengah. Sebagai daerah baru hasil pemekaran dari SUmba Barat tidak heran jika kondisi sarana prasarana masih belum memadai. Di daerah ini belum memiliki satupun rumah sakit. Pelayanan kesehatan masyarakat mengandalkan fasilitas puskesmas.
Sumba Tengah resmi menjadi kabupaten baru pada tahun 2007. Daerah seluas 180 ribu hektar ini berpenduduk 67 ribu orang. Saking sedikitnya penduduk, jarak antar permukiman bisa mencapai 1 kilometer. Meski sudah dua tahun jadi kabupaten tersendiri, tak banyak perkembangan yang terjadi di sana.
Listrik serta sarana transportasi masih jauh dari ideal.
Audio: Stand Up di lapangan _( sarana transportasi juga belum memadai kar ena meskipun ada beberapa angkutan dari pusat kota ke kawasan Sumba Tengah itupun hanya melayani penumpang sampai jam 5sore. Sementara untuk gedung-gedung pemerintahan kondisinya masih sangat memprihatinkan. Kantor-kantor dinas misalnya rata-rata masih menempati ruangan yang sangat sederhana. Menemapati sebuah rumah kecil yang berukuran sekitar 7x8 Meter kemudian masi berada ditengah padang ilalang.
Dengan kondisi seperti ini, radio jadi media penghubung paling efektif.
Audio: Suasana suara siaran peresmian
Begitu Radio Gogali mengudara, warga Sumba Tengah beramai-ramai membeli pesawat radio. Atau mulai menghidupkan kembali pesawat radio yang selama ini teronggok begitu saja.
Audio: Suasana siaran radio dari rumah warga
Audio: Stand Up di lapangan _ (Radio Gogali sudah menjadi media yang benar-benar dibutuhkan oleh warga sebagai teman mereka dalam aktifitas mereka baik di rumah, perkantoran di pasar-pasar, disawah-sawah juga, sehingga untuk mendapatkan informasi dan hiburan saat ini mereka mengandalkan satu media radio Gogali. Sehingga tidak heran kalau rumah-rumah penduduk disekitar Sumba Tengah ini sepanjang hari hiburan yang bisa didengarkan dan juga meramaikan suasana rumah mereka hanya satu radio Gogali)
Audio: ( tidak pernah kasih mati radio. Kiat dengar semuaorang omong dari pagi sampai jam 9 malam. Selain Gogali dengar radio apa? Tidak ada. Ini sudah kita senang. Sebelum itu radio belum jadi, hanya pasang tape sajakan radio tape)
Audio: Anda masih mendengarkan radio Gogali FM 107.8. kami tunggu yang ingin begabung di nomor telepon 08123…
[Shinta Ardhany | KBR68H]
Audio: Suasana dering telpon radio
Dering telfon berbunyi tak putus-putus di studio Radio Gogali, Sumba Tengah, NTT. Saat itu tengah berlangsung dialog interaktif dengan narasumber Bupati Sumba Tengah, Umbu Sappi Pateduk.
Audio: Suasana dering telpon radio
Melky Suruk yang tengah memandu siaran sampai kewalahan. Satu penelfon berhenti, menyusul penelfon berikutnya. Puluhan penelfon memadati waktu siaran yang hanya berlangsung satu jam.
Audio: Suasana siaran Melky diantara dering telfon
Untuk radio lain, mungkin biasa saja. Tapi ini luar biasa bagi Radio Gogali yang kala itu masih dalam masa percobaan siaran, belum resmi mengudara.
Seny Dortia Bilaut, warga Anakalang, Sumba Tengah, mengaku senang dengan kehadiran Radio Gogali. Selama bertahun-tahun, fasilitas radio di telfon selularnya tidak berfungsi. Kini, Seny bisa mendengar informasi kapan saja, di mana saja.
Audio: (Gogali pertama dia adalah satu-satunya radio yang muncul di Sumba Tengah setelah pemekaran, dari fasilatas Hp kan ada radionya kita bisa fungsikan selama ini tdk difungsikan karena medianya tidak ada. Paling tidak kita senang untuk menghibur lelah penat apalagai acaranya saya pikir cara dia ada menghibur kita bagus sekali)
Sebagai daerah hasil pemekaran, Sumba Tengah tergolong daerah tertinggal. Fasilitas umum seperti rumah sakit, kantor polisi serta gendung pemerintahan, belum memadai. Begitu juga sarana informasi. Koran tak mudah dibeli, hanya oleh keluarga pejabat atau kaum terpelajar. Sementara TV, tak banyak warga setempat yang punya, kata tokoh masyarakat Anakalang, Sumba Tengah, Umbu Neka Jarawuli.
Audio: (Kehadiran Gogali bantu masyarakat dalam kaitan serap informasi. Tidak semua masyarakat punya TV, adanya radio ini masyarakat terima kasih. Koran? Belum ada. Koran-koran besar kadang 1 bulan satu kali baru sampai disini, karena masalah komunikasi darat transportasi kalo hanya dalam satu minggu sekali datang dan itu belum tentu datang dengan jumlah yang besar.)
Sulitnya mengakses informasi juga dirasakan ibu rumah tangga di Sumba Tengah. Tak ada sarana untuk menggali informasi soal rumah tangga, pendidikan anak dan kesehatan. Kalaupun ada majalah, hanya dibaca kelompok terbatas. Istri Wakil Bupati Sumba Tengah Rambu Jajul mengatakan, di Gogali, semua kebutuhan informasinya terpenuhi.
Audio: (Pengetahuan rumah tangga yang saya dengar dari radio ini bagus sekali tentang pendidikan anak, untuk rumah tangga banyak hal yang kami tahu)
Radio Gogali pun menjadi media komunikasi antar warga. Warga tak segan menelfon ke studio untuk berinteraksi, bahkan kalau harus pakai telfon selular yang terhitung mahal. Tokoh masyarakat Anakalang, Sumba Tengah, Umbu Neka Jarawuli.
Audio: (Telpon? Sering dalam berbagai kesempatan. Motivasi merangsang masyarakat. Radio ini sangat bermanfaat. Pulsa sendiri tidak rugi karena saya punya kemauan sendiri membesarkan radio secara menyeluruh, tersosialisasi dengan baik)
Tak hanya warga yang antusias dengan kehadiran Radio Gogali. Kalangan pejabat Sumba Tengah sudah mengantri menjadi narasumber radio ini. Dari BUpati, Ketua DPRD sampai Kepala Dinas.
Audio: Suasana talkshow di Gogali
Salah satu dinas yang sering memanfaatkan Radio Gogali adalah Dinas Pertanian. Kebanyakan dipakai untuk sosialisasi, kata Kepala Dinas Pertanian Sumba Tengah Martinus Jurumana. Cocok, hampir 80 persen warga setempat berprofesi sebagai petani.
Audio: (Pernah memanfaatkan untuk penyuluhan hukum kehutanan untuk info alih tekhnologi, penerapan tekhnologi usaha tani, bisa juga untuk pengembangan tekhnologi jagung. Kerja sama? Sudah dari dulu, moril dan materiil)
Kehadiran radio ini juga dianggap ikut mempermudah tugas-tugas pemerintah dalam melayani masyarakat. Wakil Bupati Sumba Tengah Umbu Dondu mengatakan, lewat siaran radio, panjangnya mata rantai birokrasi bisa diputus.
Audio: (sebelum ada radio untuk sosialisasi kepada masyarakat terpaksa mengundang masyarakat dari kantor kecamatan, kantor desa, kirim surat dari kantor kecamatan sampai ke tingkat desa)
Dinas Kependudukan sudah merasakan efektifnya radio sebagai media komunikasi. Begitu bersiaran soal aturan pengeluaran KTP bagi warga Sumba Tengah, dinas langsung kebanjiran pengajuan pembuatan KTP. Kepala Dinas Kependudukan Sumba Tengah Umbu Besi.
Audio: (sebelumnya melalui surat tapi lebih efektif kalau masyarakat dengar langsung. Peran Radio ini? dengan media ini hamper tiap hari numpuk dikantor untuk urus KTP Akte.)
Pemerintah setempat sudah ancang-ancang akan memanfaatkan Radio Gogali secara optimal. Sudah ada keputusan, seluruh program dari kantor dinas harus disampaikan lewat radio ini.
Audio: (Pak Bupati sudah menegaskan ke semua Dinas. Media ini efektif untuk sosialisasikan program-program yang kita jalankan. Diminta tiap satuan kerja untuk memanfaatkan ini. Rata-rata persiapkan program yang bisa disalurkan lewat radio Gogali)
Audio: Suasana talkshow di Gogali
Kehidupan Sumba Tengah berubah seiring hadirnya Radio Gogali. Meski burung gogali yang asli Sumba Tengah sudah punah, akses informasi justru baru terbuka lebar lewat kehadiran radio komunitas ini.
Audio: Suasana siaran di antara dering telfon
Audio: Jingle Gogali
Dari sebuah bangunan yang dulunya Kantor Desa Wairasa, Kecamatan Katikutana, Sumba Tengah, Radio Gogali mengudara. Menyapa ribuan warga yang ada di lima kecamatan di Sumba Tengah, serta dua kecamatan di Sumba Barat dan Timur. Radio ini lewat bantuan KBR68H pada November tahun lalu, dengan bantuan dari Pemerintah Belanda. Direktur KBR68H Santoso mengatakan, Radio Gogali adalah radio pertama dan satu-satunya di kabupaten baru hasil pemekaran ini.
Audio: ( ada tiga tujuan pendirian radio Gogali. Pertama menjadikan radio Gogali sebagai sumber informasi untuk pencerdasan masyarakat. Kedua ingin menggunakan radio Gogali untuk sarana pendidikan yang dibutuhkan dan yang ketiga radio Gogali dapat dijadikan sarana hiburan bagi masyarakat. Agar masyarakat tidak stress. Untuk menguatkan fungsi radio, KBR masih akan mendampingi Radio Gogali dalam satu tahun ini) .
Sadar akan tingginya antusiasme pendengar, kru Radio Gogali juga bersiap-siap. Mereka membekali diri dengan pengetahuan yang cukup. Untuk itu, kata Fengky Jami, salah satu penyiar, mereka rela merogoh kocek sendiri.
Audio: ( untuk memenuhi kebutuhan pendengar kami banyak cari dari koran dan buku-buku contoh di ruang keluarga bisa hadirkan resep-resep makanan. Dan itu lebih banyak dicari dari buku-buku kemudian diimplementasikan ke radio)
Untuk bersiaran pun, para penyiar ini tak digaji.
Audio: suara siaran radio
Sebagai radio komunitas, kesejahteraan kru radio tak bisa disandingkan dengan penyiar radio komersil. Penyiar pun tak ada yang murni berlatar belakang penyiar. Ada yang ibu rumah tangga, gunu honorer, aktivitis LSM sampai remaja. Rambu Jeny adalah salah satu ibu rumah tangga yang kini bergabung sebagai penyiar di Radio Gogali.
Audio: ( Ikhlas tinggalkan pekerjaan dirumah. Demi masyarakat. Kenapa tergerak melayani masyarakata? Karena masyarakat disini masih lemah sekali, kalo tidak ada dukungan dari kita support kita sendiri dari sini masyarakat tidak akan punya inisiatif, penyiar dorong masyarakat terus maju)
Untuk melayani masyarakat, itulah moto Radio Gogali. SDM boleh terbatas, tapi semangat tak bisa dibendung.
Audio: Musik Sumba
Audio: ( saat ini saya berada Desa Waibakul Kecamatan Katikutana Sumba Tengah. Sebagai daerah baru hasil pemekaran dari SUmba Barat tidak heran jika kondisi sarana prasarana masih belum memadai. Di daerah ini belum memiliki satupun rumah sakit. Pelayanan kesehatan masyarakat mengandalkan fasilitas puskesmas.
Sumba Tengah resmi menjadi kabupaten baru pada tahun 2007. Daerah seluas 180 ribu hektar ini berpenduduk 67 ribu orang. Saking sedikitnya penduduk, jarak antar permukiman bisa mencapai 1 kilometer. Meski sudah dua tahun jadi kabupaten tersendiri, tak banyak perkembangan yang terjadi di sana.
Listrik serta sarana transportasi masih jauh dari ideal.
Audio: Stand Up di lapangan _( sarana transportasi juga belum memadai kar ena meskipun ada beberapa angkutan dari pusat kota ke kawasan Sumba Tengah itupun hanya melayani penumpang sampai jam 5sore. Sementara untuk gedung-gedung pemerintahan kondisinya masih sangat memprihatinkan. Kantor-kantor dinas misalnya rata-rata masih menempati ruangan yang sangat sederhana. Menemapati sebuah rumah kecil yang berukuran sekitar 7x8 Meter kemudian masi berada ditengah padang ilalang.
Dengan kondisi seperti ini, radio jadi media penghubung paling efektif.
Audio: Suasana suara siaran peresmian
Begitu Radio Gogali mengudara, warga Sumba Tengah beramai-ramai membeli pesawat radio. Atau mulai menghidupkan kembali pesawat radio yang selama ini teronggok begitu saja.
Audio: Suasana siaran radio dari rumah warga
Audio: Stand Up di lapangan _ (Radio Gogali sudah menjadi media yang benar-benar dibutuhkan oleh warga sebagai teman mereka dalam aktifitas mereka baik di rumah, perkantoran di pasar-pasar, disawah-sawah juga, sehingga untuk mendapatkan informasi dan hiburan saat ini mereka mengandalkan satu media radio Gogali. Sehingga tidak heran kalau rumah-rumah penduduk disekitar Sumba Tengah ini sepanjang hari hiburan yang bisa didengarkan dan juga meramaikan suasana rumah mereka hanya satu radio Gogali)
Audio: ( tidak pernah kasih mati radio. Kiat dengar semuaorang omong dari pagi sampai jam 9 malam. Selain Gogali dengar radio apa? Tidak ada. Ini sudah kita senang. Sebelum itu radio belum jadi, hanya pasang tape sajakan radio tape)
Audio: Anda masih mendengarkan radio Gogali FM 107.8. kami tunggu yang ingin begabung di nomor telepon 08123…
[Shinta Ardhany | KBR68H]
Wednesday, March 18, 2009
Home Care Bagi Lansia
Seperti apa masa depan lansia Indonesia? Sebagian besar menyahut, ingin tetap bersama keluarga. Tapi tinggal bersama keluarga pun tak menjamin lansia merasa tenang dan bahagia menghabiskan masa senjanya. Program home care alias perawatan lansia di rumah pun hadir sebagai jalan tengah. Lansia tetap hidup di tengah keluarga, tapi tak kekurangan perhatian atau bantuan kebutuhan sehari-hari. Reporter KBR68H Citra Prastuti berkunjung ke Kelurahan Tegal Alur Jakarta Barat, tempat percontohan program home care di Jakarta.
Audio: (Suasana jalan kaki) Asalamualaikum.. Nek...Main Nek.. Ada tamu, mau wawancara..
Senyum Marhamah mengembang menerima kedatangan kami. Saya ditemani dua relawan pendamping lansia dari Yayasan Emong Lansia. Rumah Marhamah terhitung bagus dengan dinding tembok dan lantai keramik.
Di sini, Marhamah tinggal bersama anak cucunya. Anaknya bekerja sebagai supir merangkap kenek angkutan dengan penghasilan kecil. Karena usia, Marhamah tak lagi bekerja. Sebagai lansia yang didampingi Yayasan Emong Lansia dan Kelurahan Tegal Alur Jakarta Barat, ia kerap mendapat bantuan sembako.
Audio: Kayak kemarin ada pembagian beras bakal orang lansia. Ada pemeriksaan dari kantor-kantor nggak tau tuh. Pada ngomong cas cis cus. Hahaha. Udah pulangnya, dapat duit. Berapa ya nggak tau itu, gak diitung. Dapat beras. Nih Nek bawa pulang ya. Kalo ada apa-apa, nggak ketinggalan.
Ia senang kami datang. Meski tinggal bersama anak cucu, ia sering kesepian di rumah karena tak ada teman berbincang.
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
Total ada 900-an lansia yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur. Baru 52 lansia yang didampingi Yayasan dan Kelurahan dalam program home care alias pendampingan lansia di rumah. Jumlah relawan masih sangat terbatas. Kondisi perekonomian para lansia yang masuk program home care beragam. Ada yang lumayan seperti Ibu Marhamah, ada juga yang sangat miskin.
Audio: Di jalan ini ada sederetan rumah yang dindingnnya dari tripleks. Di sini tertulis RT 03 RW 011 Kelurahan Tegal Alur. Kami tengah mencari rumah Pak Buang, lansia yang akan kita kunjungi bersama relawan dari Yayasan Emong Lansia.
Audio: Suasana di rumah Bapak Buang
Audio: Ibu Ain dan Pak Buang tinggal berdua, juga dengan anak dan cucu. Mereka tinggal di sebuah rumah berukuran 4x4 meter. Dindingnya dari tripleks, ada juga sebagian yang dari gedeg atau bambu. Mereka tinggal persis di pinggir Kali Manyar. Dan karena ini dekat dengan Bandara Soekarno Hatta sesekali terdengar suara pesawat seperti yang barusan terdengar. Jarak rumah ini dengan kali tidak sampai 2 meter, dan sangat kotor. Kalinya pun berwarna hitam dan bau.
Pak Buang Hidup tak bisa bicara, juga tak kuat berdiri, hanya bisa duduk di tempat tidur. Sementara Ibu Ain mengaku matanya tak lagi awas. Keduanya sudah sepuh.
Audio: (Ibu namanya?) Ain. (usianya?) Katanya 80. (Bapak?) 85 kali atau 80, nggak tau saya. (udah berapa lama tinggal di sini?) Lama banget. Lama.
Kedua lansia ini tinggal bersama anak dan cucu mereka. Anaknya bekerja sebagai kuli panggul. Bayarannya paling besar 50 ribu rupiah sekali angkut, itu pun tak tentu. Ibu Ain mengaku senang kalau dikunjungi seperti ini.
Audio: Maunya sih lebih sering, orang saya orang nggak punya. Dikasih lagi, saya kan girang bu. Kalo ada kunjungan kan enak. Orang kagak bisa nyari, diempanin. Yang ngempanin nggak ada.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Dari rumah Pak Buang, saya dan Suci, salah satu relawan pendamping lansia, kembali ke kantor Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Sudah empat tahun, Suci menjadi relawan. Setiap pekan, ia rajin mendatangi rumah dua lansia yang menjadi tanggungjawabnya.
Audio: Saya punya dua lansia, dulu 6. Nggak boleh terlalu banyak, takut nggak mencapai. Nggak efektif. Yang kita bina takutnya nggak .. dalam keseriusan juga enggak. Karena sebentar, sharingnya gak bisa lama. Kalau dua kan focus, kita tau kesehatan dan perkembangan dia seperti apa. Sakitnya apa kita perhatiin.
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Sampai sekarang, program home care ini sudah diuji coba di 6 provinsi, dengan Kelurahan Tegal Alur sebagai proyek percontohan. Tegal Alur dipilih karena wilayah ini menjadi salah satu daerah miskin di Jakarta. Apa sebetulnya inti dari pelayanan lansia di rumah alias home care ini?
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Audio: Saat ini saya berada di salah satu ruangan di Kelurahan Tegal Alur.Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Di sini ada 15-an perempuan yang sedang mengantri untuk proses wawancara.Mereka akan mengajukan diri sebagai relawan pendamping lansia di kelurahan ini dalam program Home Care yang diadakan Yayasan Emong Lansia. Mereka maju satu per satu, ditanyakan motivasinya, keinginannya, lalu apa yang mendorong mereka untuk jadi relawan pendamping lansia.
Audio: Ibu Salmun. Ibu punya anak berapa?Anak 4, laki dua perempuan dua. Yang paling kecil umur berapa? Umur 9 tahun, paling besar sudah menikah. Bapak kerja di mana? Udah nggak kerja. Nggak kerja? Iya, udah di PHK.
Para relawan adalah tulang punggung berhasilnya program home care alias pendampingan lansia di rumah. Yang jadi relawan adalah warga yang tinggal di lingkungan tersebut, kebanyakan ibu rumah tangga. Meski peminatnya cukup banyak, tak semua pendaftar lolos seleksi. Supaya tak ada lansia yang kecewa kalau relawannya bandel, kata Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia.
Audio: Jangan sampai seorang pendamping kunjungi lansia, dia bilang mau, lalu besoknya dia tidak mau lagi. Kasian si lansia kan. Jadi kita tetap seleksi. Sebetulnya pertanyaan utama kami dalam menseleksi.. udah volunteer kok pakai seleksi segala, ibu kelewatan. Pertanyaan utama dalam seleksi adalah kenapa Anda mau jadi volunteer untuk lansia?
Sofyan Manurung, Koordinator Pelatih Relawan Pendamping Lansia, serta Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia kerap turun langsung mewawancarai para kandidat relawan.
Audio: Untuk seleksi yang pertama kita lihat dari status sosial ekonominya. Kalau pas-pasan, barangkali kita mau liat, kalau kita bicara relawan tidak ada dana. Full pengabdian. Karena ini untuk mendapatkan pahala ya. Kita coba liat itu. Kalau memang mapan, kenapa tidak. Kedua, masalah keikutsertaannya. Apakah ini karena ingin coba-coba, juga perlu waktu luang, dari segi keadaan anaknya berapa, kecil atau besar. Kalau anak masih bayi, apa mungkin mendampingi orang lain.
Audio: Ada yang bilang, saya nggak sempet kenal nenek saya. Biarlah nenek itu saya anggap nenek saya. Ada yang bilang panggilan hati nurani. Tapi ada yang bilang, oh cari pengalaman. Coret.
Karena bekerja tanpa bayaran, motivasi kuat adalah kunci utama diterimanya seseorang sebagai relawan pendamping lansia.
Audio: Ibu Suryati..
Suryati sudah diwawancarai pekan lalu. Hari ini dia datang untuk mengetahui diterima atau tidak sebagai relawan.
Audio: Rasanya hati ini terpanggil. Sejak saya ikut kegiatan Posyandu, kader jentik, setelah itu kan banyak pertemuan di sini. Hati saya terpanggil. Ah coba saya ingin mengabdikan yang tentang relawan seperti ini. Saya ingin tahu, untuk menambah ilmu saya.
Audio: Saya udah wawancara. Ibu, mungkin ada perubahan? Ibu masih puyna tekad untuk ikut? Masih. Nggak mbatalin? Nggak. Nggak Pak aku ingin menambah ilmu, wawasan. ..
(Ibu Suryati diterima nggak?) Iya, diterima.
Suci, yang sudah 4 tahun bekerja sebagai relawan, mengingatkan, tugas ini sangat berat.
Audio: Kita tahu kesehatan dan perkembangan dia seperti apa. Sakitnya apa, kita perhatiin. Nenek udah makan belum? Sehat Nek? Hari ini Nenek sudah jalan ke mana? Olahraga. Kan setiap datang kita pesan, Nenek kalau pagi jalan ya, kalo bisa sama cucunya. Atau sama anaknya, biar sehat.
Kalau diterima jadi relawan, maka langkah selanjutnya adalah ikut pelatihan, kata Sofyan Manurung, koordinator pelatih relawan pendamping lansia.
Audio: Di sana dilatih gimana mempraktikkan ilmu yang didapatkan sehingga bisa digunakan. Contoh gimana menuntun lansia yang pakai tongkat, gimana memindahkan lansia dari tempat tidur untuk duduk ke kursi roda, dari kursi roda ke tempat tidur. Relawan juga dilatih berbagai penyakit dan tanda penyakit untuk memudahkan mereka ke puskesmas setempat.
Sebagai relawan, mereka juga dibekali sebuah buku kecil. Mereka menyebutnya ‘buku kuning’, mengacu ke warna sampul buku. Ini adalah panduan merawat lansia, juga catatan hasil pertemuan mingguan antara relawan dengan lansia.
Audio: Saya sedang membaca buku panduan Home Care dan catatan kunjungan dari seorang lansia bernama Ibu Turmi. Tercatat ada kunjungan dilakukan pada 4 September 2006. Catatannya begini,”Ibu Darmi cerita, katanya lagi pusing, tapi sudah minum obat, sekarang tinggal lemesnya. Saya ke situ, Mbah Darmi lagi tidur-tiduran.” Lalu kunjungan berikutnya dilakukan 11 September 2006, berarti selang sekitar seminggu. “Hari ini saya ke rumah Mbah Darmi. Beliau sehat dan segar sekali. Katanya tadi habis ke rumah anaknya, kangen sama cucunya.”
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
Program pendampingan lansia di rumah ini memang menitikberatkan pada lingkungan di sekitar lansia. Bisa keluarga, bisa juga tetangga sekitar. Eva Sabdono, Ketua Yayasan Emong Lansia, percaya, nilai gotong royong masih hidup kuat di tengah masyarakat Indonesia.
Audio: Di Indonesia kan ada budaya yang sangat bagus yaitu gotong royong. Kalau kita membangkitkan perhatian dari masyarkaat, pasti itu bisa untuk menangani melalui yang kita sebut home care, pendampingan lanjut usia di rumah. Kalau ada anaknya ya kita kasih bimbingan. Kalau tidak anaknya ya tetangga-tetangganya. Memberi pendampingan bagi lansia di rumah. Budaya gotong royong itu masih ada di Indonesia.
Penghalang justru kerap datang dari keluarga, kata Eva. Ada saja keluarga yang tak mau orangtua mereka ikut program home care. Gengsi.
Audio: Tidak semua membutuhkan home care. Dan itu juga harus ada persetujuan dari lansia dan keluarga, bahwa dia setuju untuk diberikan pendampingan. Ada prosesnya. Ada yang tidak setuju. Alasannya? Itu sebetulnya hanya pride yang salah. Malu. Tapi itu kan salah. Kita tidak boleh memaksa. Jadi ada keluarga yang tidak setuju.
Dengan kondisi kesehatan yang makin baik di Indonesia, angka harapan hidup makin panjang. Kalau Indonesia sekarang masih dipandang sebagai negara muda, dengan jumlah penduduk usia produktif yang paling besar dibandingkan kelompok usia lainnya. Tapi, kondisi akan berubah.
Tahun 2050, satu dari empat orang Indonesia adalah lansia. Kalau sudah begini, sulit rasanya berharap pada Panti Werdha yang jumlahnya terbatas. Karenanya, bagi Sofyan Manurung, program pendampingan lansia di rumah atau home care adalah paduan sempurna kebahagiaan lansia dan tanggung jawab sosial.
Audio: Artinya lansia yang kita tangani bisa hidup ceria dan mandiri. Lansia ini kan sebenarnya tinggal menunggu panggilan. Nah apa salahnya dalam hari-hari tuanya ini diisi dengan kesenangan-kesenangan dia, tanpa satu beban dan juga dipersiapkan gimana bisa bertemu Khaliknya.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
[Citra Prastuti | KBR68H]
Audio: (Suasana jalan kaki) Asalamualaikum.. Nek...Main Nek.. Ada tamu, mau wawancara..
Senyum Marhamah mengembang menerima kedatangan kami. Saya ditemani dua relawan pendamping lansia dari Yayasan Emong Lansia. Rumah Marhamah terhitung bagus dengan dinding tembok dan lantai keramik.
Di sini, Marhamah tinggal bersama anak cucunya. Anaknya bekerja sebagai supir merangkap kenek angkutan dengan penghasilan kecil. Karena usia, Marhamah tak lagi bekerja. Sebagai lansia yang didampingi Yayasan Emong Lansia dan Kelurahan Tegal Alur Jakarta Barat, ia kerap mendapat bantuan sembako.
Audio: Kayak kemarin ada pembagian beras bakal orang lansia. Ada pemeriksaan dari kantor-kantor nggak tau tuh. Pada ngomong cas cis cus. Hahaha. Udah pulangnya, dapat duit. Berapa ya nggak tau itu, gak diitung. Dapat beras. Nih Nek bawa pulang ya. Kalo ada apa-apa, nggak ketinggalan.
Ia senang kami datang. Meski tinggal bersama anak cucu, ia sering kesepian di rumah karena tak ada teman berbincang.
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
Total ada 900-an lansia yang tinggal di Kelurahan Tegal Alur. Baru 52 lansia yang didampingi Yayasan dan Kelurahan dalam program home care alias pendampingan lansia di rumah. Jumlah relawan masih sangat terbatas. Kondisi perekonomian para lansia yang masuk program home care beragam. Ada yang lumayan seperti Ibu Marhamah, ada juga yang sangat miskin.
Audio: Di jalan ini ada sederetan rumah yang dindingnnya dari tripleks. Di sini tertulis RT 03 RW 011 Kelurahan Tegal Alur. Kami tengah mencari rumah Pak Buang, lansia yang akan kita kunjungi bersama relawan dari Yayasan Emong Lansia.
Audio: Suasana di rumah Bapak Buang
Audio: Ibu Ain dan Pak Buang tinggal berdua, juga dengan anak dan cucu. Mereka tinggal di sebuah rumah berukuran 4x4 meter. Dindingnya dari tripleks, ada juga sebagian yang dari gedeg atau bambu. Mereka tinggal persis di pinggir Kali Manyar. Dan karena ini dekat dengan Bandara Soekarno Hatta sesekali terdengar suara pesawat seperti yang barusan terdengar. Jarak rumah ini dengan kali tidak sampai 2 meter, dan sangat kotor. Kalinya pun berwarna hitam dan bau.
Pak Buang Hidup tak bisa bicara, juga tak kuat berdiri, hanya bisa duduk di tempat tidur. Sementara Ibu Ain mengaku matanya tak lagi awas. Keduanya sudah sepuh.
Audio: (Ibu namanya?) Ain. (usianya?) Katanya 80. (Bapak?) 85 kali atau 80, nggak tau saya. (udah berapa lama tinggal di sini?) Lama banget. Lama.
Kedua lansia ini tinggal bersama anak dan cucu mereka. Anaknya bekerja sebagai kuli panggul. Bayarannya paling besar 50 ribu rupiah sekali angkut, itu pun tak tentu. Ibu Ain mengaku senang kalau dikunjungi seperti ini.
Audio: Maunya sih lebih sering, orang saya orang nggak punya. Dikasih lagi, saya kan girang bu. Kalo ada kunjungan kan enak. Orang kagak bisa nyari, diempanin. Yang ngempanin nggak ada.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Dari rumah Pak Buang, saya dan Suci, salah satu relawan pendamping lansia, kembali ke kantor Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat. Sudah empat tahun, Suci menjadi relawan. Setiap pekan, ia rajin mendatangi rumah dua lansia yang menjadi tanggungjawabnya.
Audio: Saya punya dua lansia, dulu 6. Nggak boleh terlalu banyak, takut nggak mencapai. Nggak efektif. Yang kita bina takutnya nggak .. dalam keseriusan juga enggak. Karena sebentar, sharingnya gak bisa lama. Kalau dua kan focus, kita tau kesehatan dan perkembangan dia seperti apa. Sakitnya apa kita perhatiin.
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Sampai sekarang, program home care ini sudah diuji coba di 6 provinsi, dengan Kelurahan Tegal Alur sebagai proyek percontohan. Tegal Alur dipilih karena wilayah ini menjadi salah satu daerah miskin di Jakarta. Apa sebetulnya inti dari pelayanan lansia di rumah alias home care ini?
Audio: Suasana Jalanan Tegal Alur
Audio: Saat ini saya berada di salah satu ruangan di Kelurahan Tegal Alur.Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Di sini ada 15-an perempuan yang sedang mengantri untuk proses wawancara.Mereka akan mengajukan diri sebagai relawan pendamping lansia di kelurahan ini dalam program Home Care yang diadakan Yayasan Emong Lansia. Mereka maju satu per satu, ditanyakan motivasinya, keinginannya, lalu apa yang mendorong mereka untuk jadi relawan pendamping lansia.
Audio: Ibu Salmun. Ibu punya anak berapa?Anak 4, laki dua perempuan dua. Yang paling kecil umur berapa? Umur 9 tahun, paling besar sudah menikah. Bapak kerja di mana? Udah nggak kerja. Nggak kerja? Iya, udah di PHK.
Para relawan adalah tulang punggung berhasilnya program home care alias pendampingan lansia di rumah. Yang jadi relawan adalah warga yang tinggal di lingkungan tersebut, kebanyakan ibu rumah tangga. Meski peminatnya cukup banyak, tak semua pendaftar lolos seleksi. Supaya tak ada lansia yang kecewa kalau relawannya bandel, kata Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia.
Audio: Jangan sampai seorang pendamping kunjungi lansia, dia bilang mau, lalu besoknya dia tidak mau lagi. Kasian si lansia kan. Jadi kita tetap seleksi. Sebetulnya pertanyaan utama kami dalam menseleksi.. udah volunteer kok pakai seleksi segala, ibu kelewatan. Pertanyaan utama dalam seleksi adalah kenapa Anda mau jadi volunteer untuk lansia?
Sofyan Manurung, Koordinator Pelatih Relawan Pendamping Lansia, serta Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia kerap turun langsung mewawancarai para kandidat relawan.
Audio: Untuk seleksi yang pertama kita lihat dari status sosial ekonominya. Kalau pas-pasan, barangkali kita mau liat, kalau kita bicara relawan tidak ada dana. Full pengabdian. Karena ini untuk mendapatkan pahala ya. Kita coba liat itu. Kalau memang mapan, kenapa tidak. Kedua, masalah keikutsertaannya. Apakah ini karena ingin coba-coba, juga perlu waktu luang, dari segi keadaan anaknya berapa, kecil atau besar. Kalau anak masih bayi, apa mungkin mendampingi orang lain.
Audio: Ada yang bilang, saya nggak sempet kenal nenek saya. Biarlah nenek itu saya anggap nenek saya. Ada yang bilang panggilan hati nurani. Tapi ada yang bilang, oh cari pengalaman. Coret.
Karena bekerja tanpa bayaran, motivasi kuat adalah kunci utama diterimanya seseorang sebagai relawan pendamping lansia.
Audio: Ibu Suryati..
Suryati sudah diwawancarai pekan lalu. Hari ini dia datang untuk mengetahui diterima atau tidak sebagai relawan.
Audio: Rasanya hati ini terpanggil. Sejak saya ikut kegiatan Posyandu, kader jentik, setelah itu kan banyak pertemuan di sini. Hati saya terpanggil. Ah coba saya ingin mengabdikan yang tentang relawan seperti ini. Saya ingin tahu, untuk menambah ilmu saya.
Audio: Saya udah wawancara. Ibu, mungkin ada perubahan? Ibu masih puyna tekad untuk ikut? Masih. Nggak mbatalin? Nggak. Nggak Pak aku ingin menambah ilmu, wawasan. ..
(Ibu Suryati diterima nggak?) Iya, diterima.
Suci, yang sudah 4 tahun bekerja sebagai relawan, mengingatkan, tugas ini sangat berat.
Audio: Kita tahu kesehatan dan perkembangan dia seperti apa. Sakitnya apa, kita perhatiin. Nenek udah makan belum? Sehat Nek? Hari ini Nenek sudah jalan ke mana? Olahraga. Kan setiap datang kita pesan, Nenek kalau pagi jalan ya, kalo bisa sama cucunya. Atau sama anaknya, biar sehat.
Kalau diterima jadi relawan, maka langkah selanjutnya adalah ikut pelatihan, kata Sofyan Manurung, koordinator pelatih relawan pendamping lansia.
Audio: Di sana dilatih gimana mempraktikkan ilmu yang didapatkan sehingga bisa digunakan. Contoh gimana menuntun lansia yang pakai tongkat, gimana memindahkan lansia dari tempat tidur untuk duduk ke kursi roda, dari kursi roda ke tempat tidur. Relawan juga dilatih berbagai penyakit dan tanda penyakit untuk memudahkan mereka ke puskesmas setempat.
Sebagai relawan, mereka juga dibekali sebuah buku kecil. Mereka menyebutnya ‘buku kuning’, mengacu ke warna sampul buku. Ini adalah panduan merawat lansia, juga catatan hasil pertemuan mingguan antara relawan dengan lansia.
Audio: Saya sedang membaca buku panduan Home Care dan catatan kunjungan dari seorang lansia bernama Ibu Turmi. Tercatat ada kunjungan dilakukan pada 4 September 2006. Catatannya begini,”Ibu Darmi cerita, katanya lagi pusing, tapi sudah minum obat, sekarang tinggal lemesnya. Saya ke situ, Mbah Darmi lagi tidur-tiduran.” Lalu kunjungan berikutnya dilakukan 11 September 2006, berarti selang sekitar seminggu. “Hari ini saya ke rumah Mbah Darmi. Beliau sehat dan segar sekali. Katanya tadi habis ke rumah anaknya, kangen sama cucunya.”
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
Program pendampingan lansia di rumah ini memang menitikberatkan pada lingkungan di sekitar lansia. Bisa keluarga, bisa juga tetangga sekitar. Eva Sabdono, Ketua Yayasan Emong Lansia, percaya, nilai gotong royong masih hidup kuat di tengah masyarakat Indonesia.
Audio: Di Indonesia kan ada budaya yang sangat bagus yaitu gotong royong. Kalau kita membangkitkan perhatian dari masyarkaat, pasti itu bisa untuk menangani melalui yang kita sebut home care, pendampingan lanjut usia di rumah. Kalau ada anaknya ya kita kasih bimbingan. Kalau tidak anaknya ya tetangga-tetangganya. Memberi pendampingan bagi lansia di rumah. Budaya gotong royong itu masih ada di Indonesia.
Penghalang justru kerap datang dari keluarga, kata Eva. Ada saja keluarga yang tak mau orangtua mereka ikut program home care. Gengsi.
Audio: Tidak semua membutuhkan home care. Dan itu juga harus ada persetujuan dari lansia dan keluarga, bahwa dia setuju untuk diberikan pendampingan. Ada prosesnya. Ada yang tidak setuju. Alasannya? Itu sebetulnya hanya pride yang salah. Malu. Tapi itu kan salah. Kita tidak boleh memaksa. Jadi ada keluarga yang tidak setuju.
Dengan kondisi kesehatan yang makin baik di Indonesia, angka harapan hidup makin panjang. Kalau Indonesia sekarang masih dipandang sebagai negara muda, dengan jumlah penduduk usia produktif yang paling besar dibandingkan kelompok usia lainnya. Tapi, kondisi akan berubah.
Tahun 2050, satu dari empat orang Indonesia adalah lansia. Kalau sudah begini, sulit rasanya berharap pada Panti Werdha yang jumlahnya terbatas. Karenanya, bagi Sofyan Manurung, program pendampingan lansia di rumah atau home care adalah paduan sempurna kebahagiaan lansia dan tanggung jawab sosial.
Audio: Artinya lansia yang kita tangani bisa hidup ceria dan mandiri. Lansia ini kan sebenarnya tinggal menunggu panggilan. Nah apa salahnya dalam hari-hari tuanya ini diisi dengan kesenangan-kesenangan dia, tanpa satu beban dan juga dipersiapkan gimana bisa bertemu Khaliknya.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Audio: Udah ya Nek ya, makasih banyak. Udah nggak usah nganter, Nenek masuk saja. Jangan bosen-bosen datang. Sering-sering datang ke mari, enak ngobrol.
[Citra Prastuti | KBR68H]
Tuesday, March 17, 2009
Menata Masa Depan Lansia
Hampir seperempat jumlah pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Mereka tak punya penghasilan tetap, apalagi pensiun untuk masa tua. Sekarang usia mereka mungkin masih produktif, tubuh sehat untuk bekerja siang malam. Tapi bagaimana kelak nasib mereka di masa tua? Reporter KBR68H Citra Prastuti dan Ziphora Robina dari Radio Internasional Jerman Deutsche Welle berbincang dengan Grup Dangdut Rembulan, sembari mencari tahu rencana besar pemerintah untuk mengurus lansia.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Audio: (Nama grupnya apa sih?) Rembulan Grup. (Sebagai penyanyi di kafe dapat penghasilan berapa, setiap bulan?) Kita nggak dihitung bulan, paling harian, saweran. Kita ngitung pendapatan dari saweran. Kalo lagi rame, ya rame. Kalo lagi sepi ya kadang sama sekali nggak dapet. Kalo lagi rame bisa di atas 40 ribu. Kadang 100. Kalo lagi sepi, kadang 5 ribu. Kadang sama sekali nggak dapat. (Dari kafenya sendiri?) Paling uang makan doang, buat transport.
Siang mengamen di jalanan, malam nyanyi di kafe dangdut Lone Star di Jakarta Pusat. Grup Rembulan terdiri dari Daru, Rena dan Edi, semuanya sudah berkeluarga. Rena dan Edi 26 tahun, sementara Daru 30-an tahun. Grup ini terbentuk sejak lebih lima tahun silam. Sebagai musisi kelas bawah, pendapatan mereka kecil, juga tak pasti.
Audio: Suasana ngamen: Lagu apa nih. Jreng jreng. Bagai disayat-sayat, sakitnya hati, betapa sakitnya hati.. Bagai diremas-remas, hancurnya jiwa, betapa hancurnya jiwa…
Audio: Suasana Jalan Wahid Hasyim
Audio: 70 persen pekerja di Indonesia adalah pekerja di sektor informal yang tidak punya penghasilan tetap dan tidak punya tabungan pensiun untuk masa tua. Mereka bisa bekerja di berbagai bidang, dari berjualan di pinggir jalan sampai menarik bajaj seperti yang dilakukan Pak Saim, laki-laki asal Tegal yang sudah menarik bajaj selama 10 tahun. Ia punya tanggungan keluarga dengan tiga anak, tapi sampai sekarnag ia tidak punya tabungan atau persiapan untuk masa tuanya.
Audio: (Sebulan bisa ngirim berapa?) Nggak tentu. Kadang 300, kadang bisa 400. Kadang kalo nggak ada, cukup untuk jajan anak, 100 ribu juga kirim. (Bisa nabung untuk hari tua?) Nggak bisa kayaknya. Belum bisa. Keadaannya begini. (Rencana hari tua?) Kemungkinan kalo udah begini paling pulang ke kampong. (Di kampung mau ngapain?) Mungkin kerja tani, gitu aja. (Nggak ada tabungan sama sekali?) Nggak ada.
Audio: Suasana bajaj
Audio: Suasana Edi bikin keset
Edi dulunya juga pekerja jalanan. Jadi pemulung, dengan pendapatan cuma sekitar 250 ribu per bulan. Tapi usia kepala 6 membuat Edi harus menyerah di tangan Satpol PP yang merazianya. Sejak lima bulan silam, ia jadi penghuni Panti Werdha milik Dinas Sosial Jakarta. Lokasinya di Marga Guna, Jakarta Selatan.
Audio: Ini lagi bikin keset, injekan, alas kaki. (Bahannya apa?) Dari kain katun. Macem-macem, ada yang kasar dan halus. (Setiap hari bikin keset ini?) Kalau ini sih iseng aja, jadi nggak rutin bener. Jadi kalau tempo hari kan saya masih belajar, jadi lamaa bikinnya. Seminggu baru dapat satu, sekarnag satu hari satu.
Audio: Suasana di panti werdha
Di panti ini, Edi tinggal bersama 150-an lansia lainnya di dalam 8 barak yang tersedia. Mayoritas penghuninya adalah perempuan. Alasan mereka masuk panti bermacam-macam. Ada yang kena garuk seperti Edi, ada juga yang secara sadar memilih masuk panti. Seperti Umi, Maria dan Bolot.
Audio: Ibu kenapa tinggal di panti? (terdiam) Terus terang saya karena nggak punya anak. Dan saya tidak ingin menyusahkan saya punya keluarga. (nangis).
Audio: Saya nggak punya orangtua, nggak punya suami, nggak punya anak. Daripada kita ikut keponakan gitu, atau temen-temen, ya saya udah deh mau pasrah aja tinggal di panti. Kalo di panti kan enak, banyak sodara.
Audio: Karena sudah nggak bisa kerja, keluarga nggak mau tau. Kita udah nggak kerja, daripada jadi beban, kita kan repot sendiri. Kaki udah nggak mampu untuk jalan, dan tangan kiri juga nggak bisa untuk kerja. Kita kan diurus di sini.
Audio: Suasana di panti werdha
Saat ini tercatat ada 19 juta lansia di seluruh tanah air. Hampir 3 juta lansia masuk kategori miskin dan terlantar. Ini baru data tahun 2004, lima tahun lalu, yang masuk dipakai Departemen Sosial. Sisanya, hanya 10 persen yang mengantongi pensiun untuk menopang hari tua mereka.
Audio: Atun nyanyi Mars Lansia
Atun, penghuni Panti Werdha di Marga Guna menyanyikan Mars Lansia.
Sekarang Indonesia masih terhitung sebagai negara muda, dengan jumlah penduduk usia muda yang lebih banyak. Tapi 15 tahun lagi, jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan bakal melonjak tinggi karena kualitas kesehatan membaik dan angka harapan hidup makin tinggi. Kelak, satu dari empat orang Indonesia adalah lansia.
Sekitar 70 persen pekerja usia produktif saat ini bergerak di sektor informal. Tanpa pemasukan pasti, tanpa pensiun, seperti apa masa tua mereka kelak?
Audio Mars Lansia: Badan sehat jiwa kuat, sambut masa yang kan datang. Mutu hidup pun meningkat, masa tua bahagia…
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: (suara kendang) Untuk apa kebun yang indah… tanpa kemesraan bagaikan boneka…
Audio: (Dengan penghasilan segitu, cukup?) Kalo halal, ya cukup. (Dengan penghasilan sekarang, punya tabungan?) Belum, hehehe. Kadang dapat uang, habis. Kalo musim ujan nggak jalan. Kalo siang ujan, kan malam jadi sepi juga. Siang juga nggak jalan. Di rumah aja. Nggak ada usaha lain.
Rena, Daru dan Edi dari Grup Rembulan belum punya rencana apa-apa untuk masa depan mereka. Uang yang didapat hari ini terlalu sedikit untuk disimpan buat esok lusa. Apalagi untuk masa tua.
Kalau keuangan tak dijaga ketat, sangat mungkin mereka kelak masuk dalam kategori lansia miskin dan terlantar.
Audio: Sekarang kita mencari rumah lansia berikutnya yaitu Bapak Buang Hidup.
Di jalan ini ada sederetan rumah yang dindingnnya dari tripleks. Di sini tertulis RT 03 RW 011 Kelurahan Tegal Alur. Kami tengah mencari rumah Pak Buang, lansia yang akan kita kunjungi bersama relawan dari Yayasan Emong Lansia.
Ain dan Buang Hidup, pasangan lansia usia 80-an tahun ini, tinggal bersama anak cucu, di sepetak rumah ukuran 4x4 meter dengan dinding tripleks dan gedek. Rumah mereka persis di pinggir Kali Gang Manyar, Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, dekat Bandara Soekarno Hatta. Kali ini hitam pekat, penuh sampah. Satu-satunya penghasilan datang dari anak mereka, yang bekerja jadi buruh panggul.
Audio: Anak saya? Kalo lagi ada panggulan ya manggul. Kalo enggak ya ngerawat saya. Anak saya laki doang satu, ngikutin saya. (Penghasilan anak ibu?) Penghasilan ya.. manggul paling 20-50. Paling banyak dapet 50, kalo enggak paling 20. (Itu cukup?) Itu cukup nggak cukup dah. Abis pegimana, saya orang nggak punya, mau ke mana. Nggak ada yang dijual-jual. Cukup nggak cukup ya udah segitu saya.
Kedua lansia ini adalah bagian dari lansia yang didampingi lewat program home care atau perawatan lansia di rumah. Lansia tetap tinggal bersama keluarga, sekaligus mendapat bantuan dari para relawan pendamping yang tak digaji. Bantuannya bisa berupa sembako untuk sehari-hari, atau sekadar limpahan perhatian.
Audio: Maunya sih lebih sering, orang saya orang nggak punya. Dikasih lagi, saya kan girang bu. Kalo ada kunjungan kan enak. Orang kagak bisa nyari, diempanin. Yang ngempanin nggak ada.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia ada di belakang program home care di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, salah satu daerah tertinggal di ibukota. Program pendampingan lansia di sana adalah proyek percontohan. Sekarang ada 6 kota di Indonesia yang menjalankan program serupa.
Audio: Tapi kan banyak lansia yang terlantar karena tidak ada yang bisa kasih perhatian. Dia di rumah tapi terlantar. Tapi yang di jalnaan kan tidak ada jalan lain kecuali memasukkan ke panti karena kan mereka butuh shelter. Masih banyak yang tinggal di rumah tapi miskin, anaknya juga miskin banyak yang nganggur, lalu gimana. Kami memang sudah ada sasarannya. Lansia yang tinggal sendiri, sakit-sakitan, bed ridden, dll. Ini sasaran dari home care.
Dari 19 juta lansia yang ada sekarang, 15 persen diantaranya hidup miskin dan terlantar. Hampir 3 juta lansia inilah yang jadi PR besar bagi Departemen Sosial. Mereka masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, PMKS. Sialnya, dana mengurus lansia cekak, kata Sekjen Depsos Chazali Situmorang.
Audio: Wah kalo persen, nggak usah cerita lansia aja lah. Cerita Depsos dari 1030 triliun, anggaran yang diberikan hanya 3.4 triliun. Departemen ya. Jadi kalau ditukikkan lagi ke lansianya. Itu Cuma nol koma nol berapa persen itu. Jadi untuk cerita lansia, saya susah deh. Paling puluhan miliar lah. Jadi nggak usah presentase, karena digitnya nol koma nol.
Kalau dibandingkan 220 juta penduduk Indonesia, lansia yang 19 juta mungkin terlihat sedikit. Tapi percayalah, dengan kualitas kesehatan yang terus meningkat, jumlah lansia akan terus bertambah. Di sisi lain, kebanyakan pekerja muda sekarang adalah pekerja sektor informal yang pemasukannya pasang surut, tak terpikirkan untuk menyisihkan pensiun. Padahal, kata Eva, mereka juga sudah bekerja demi negara sehingga sudah selayaknya ikut dipikirkan oleh negara.
Audio: Lansia miskin itu 2.7. Yang tertangani dengan berbagai program, itu belum sampai 500 ribu. Dibandingkan 2.7, yang ditangani baru paling 300-an, itu kan kecil sekali. Dan bagiamana, kan tidak bisa semua masuk panti? Ada yang bisa di home care. Tidak semua bisa masuk home care. Lalu kenapa kita tidak punya jaminan hari tua. Kan mereka juga sudah bekerja untuk Negara. Kenapa tidak ada perhatian? Mereka dapat pensiun dari mana?
Sejak 2004, Indonesia sudah punya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Oktober tahun ini, mestinya aturan dalam UU tersebut sudah direalisasikan. Bagian kelima UU SJSN mengatur soal Jaminan Pensiun. Pesertanya adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Karena ada iuran inilah, menurut Sekjen Depsos, yang juga anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional DJSN Chazali Situmorang, pemerintah memprioritaskan pemberian pensiun kepada pekerja di sektor formal.
Audio: Di dalam UU itu, hak pensiun masih diutamakan kepada yang bekerja. Jadi bekerja di sektor formal. Ya itulah, karena pemerintah kalau semua dibuka, semua dapat pensiun, nggak mampu juga kan anggarannya. Kan sudah diperhitungkan. Bagaimana suatu UU diterbitkan kalau tidak bisa dilaksanakan?
Artinya ada 70 persen pekerja sektor informal yang kelak terancam jadi lansia terlantar, kalau Negara tak menyiapkan skema pengaman hari tua. Sejauh ini, Depsos yang bertugas mengurus lansia mengandalkan pada program Jaminan Sosial Lanjut Usia, lewat pemberian uang 300 ribu per orang per bulan. Tapi lagi-lagi, semua tergantung anggaran Negara, kata Chazali Situmorang, Sekjen Depsos. Dan itu, cekak.
Audio: Ke depan kalau anggaran memungkinkan kita akan berupaya supaya yang dapat jaminan sosial lebih banyak lagi. Inilah tugas pemerintah. Kalau anggaran bertambah, atau CSR kita jalan, kita bisa dorong ini. Ini kan sangat efektif. Dengan memberikan bantuan lansia ini, segmennya jelas dan dia tidak jadi beban keluarga itu.
Audio: Suasana dalam omprengan
Farid yang supir omprengan, Leni yang penjaga toko telepon selular dan Sumpena yang pedagang asongan, tak berani merancang masa tua mereka kelak.
Audio: Persiapan untuk hari tua? Belum. Ya nggak butuh apa-apa. Yang penting kecukupan saja untuk anak sekolah. Buat masa tua belum kepikiran. Kalo ada modal, usaha, biar ada untuk masa tua. Saking gak ada modal, terpaksa gini, sampai tua pun jadi.
Audio: Untuk masa tua? Masih pingin kerja kalau bisa kerja. Sampai nggak bisa kali, sampai 35 tahun. Abis itu berhenti? Iya. Kalo udah berhenti kerja? Mau usaha di rumah.
Audio: (Penghasilan sebulan?) Nggak tentu. Kadang 30, kadang 25 ribu, sehari. (Persiapan buat hari tua?) Belum, baru ngumpul-ngumpul aja. Duit gitu. (Rencana hari tua?) Kalo udah punya duit mah diem aja di rumah.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia tak banyak berharap pada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan sistem dan pendataan lansia yang sulit diandalkan, bisa-bisa nasib lansia baru membaik setelah dua generasi. Karenanya, Eva lebih percaya kepada persiapan tiap orang untuk masa depannya masing-masing.
Audio: Masing-masing harus juga memikirkan. Jangan terlalu harpakan pemerintah yang akan memelihara kita. Kita sendiri juga harus bertanggung jawab. Sekarang 85 persen lansia oke, berarti kan mereka mempersiapkan diri. Tapi nanti kan berubah, kita gak mengharapkan apa-apa dari pemerintah. Jangan mengharapkan, Anda menjadi tua dan akan dibantu pemerintah. Jangan harapkan itu. Secara logika nggak mungkin.
Audio: Suasana Anto bikin rujak, Garam, sambel? Ini mangganya mangga rujak ya.
Sembari memotong mangga, semangka, jambu dan pepaya, serta menambahkan bumbu kacang, Anto bercerita soal persiapan hari tuanya. Pendapatan sebagai tukang rujak akan dipakai untuk pulang kampung dan nyawah, kata dia.
Audio: (Bapak dengan tiap hari bisa dapat 400 ribu, puyna tabungan?) Sedikit-sedikit ada sih. Ada lah. (Persiapan untuk hari tua?) Ada lah sedikit-sedikit. (Persiapannya apa saja?) Beli tanah, persiapan bikin rumah, beli sapi kambing. Tabungannya di situ doing. Kalo tabungan di bank, nggak ada. (Kalo udah tua, Bapak nggak punya penghasilan, nggak bisa dagang rujak lagi, gimana persiapannya?) Satu-satunya paling kalo udah mentok ya tani. Kan kita udah beli tanah. Kalo udah mentok, tenaga udah lemah, paling tani. Di rumah sambil dagang kecil-kecilan. Planning saya begitu doang.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Sementara Rena, Daru dan Edi tak kuasa memikirkan bagaimana masa tua mereka kelak.
Audio: Suasana Grup Rembulan, (Nggak ada tabungan, kira-kira persiapannya gimana?) Nggak tau juga deh, belum mikir ke sono ya. Nggak ada pensiunannya di musik, nggak ada yang gaji. Ada yang gaji, tukang sate, hahaha.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Jeraa.. bercintaaa.. Jeraaa.. jera jera jera jeraaa.. Jeraaa.. bercinta jera jera jera jera…
[Citra Prastuti KBR68H | Ziphora Robina DW]
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Audio: (Nama grupnya apa sih?) Rembulan Grup. (Sebagai penyanyi di kafe dapat penghasilan berapa, setiap bulan?) Kita nggak dihitung bulan, paling harian, saweran. Kita ngitung pendapatan dari saweran. Kalo lagi rame, ya rame. Kalo lagi sepi ya kadang sama sekali nggak dapet. Kalo lagi rame bisa di atas 40 ribu. Kadang 100. Kalo lagi sepi, kadang 5 ribu. Kadang sama sekali nggak dapat. (Dari kafenya sendiri?) Paling uang makan doang, buat transport.
Siang mengamen di jalanan, malam nyanyi di kafe dangdut Lone Star di Jakarta Pusat. Grup Rembulan terdiri dari Daru, Rena dan Edi, semuanya sudah berkeluarga. Rena dan Edi 26 tahun, sementara Daru 30-an tahun. Grup ini terbentuk sejak lebih lima tahun silam. Sebagai musisi kelas bawah, pendapatan mereka kecil, juga tak pasti.
Audio: Suasana ngamen: Lagu apa nih. Jreng jreng. Bagai disayat-sayat, sakitnya hati, betapa sakitnya hati.. Bagai diremas-remas, hancurnya jiwa, betapa hancurnya jiwa…
Audio: Suasana Jalan Wahid Hasyim
Audio: 70 persen pekerja di Indonesia adalah pekerja di sektor informal yang tidak punya penghasilan tetap dan tidak punya tabungan pensiun untuk masa tua. Mereka bisa bekerja di berbagai bidang, dari berjualan di pinggir jalan sampai menarik bajaj seperti yang dilakukan Pak Saim, laki-laki asal Tegal yang sudah menarik bajaj selama 10 tahun. Ia punya tanggungan keluarga dengan tiga anak, tapi sampai sekarnag ia tidak punya tabungan atau persiapan untuk masa tuanya.
Audio: (Sebulan bisa ngirim berapa?) Nggak tentu. Kadang 300, kadang bisa 400. Kadang kalo nggak ada, cukup untuk jajan anak, 100 ribu juga kirim. (Bisa nabung untuk hari tua?) Nggak bisa kayaknya. Belum bisa. Keadaannya begini. (Rencana hari tua?) Kemungkinan kalo udah begini paling pulang ke kampong. (Di kampung mau ngapain?) Mungkin kerja tani, gitu aja. (Nggak ada tabungan sama sekali?) Nggak ada.
Audio: Suasana bajaj
Audio: Suasana Edi bikin keset
Edi dulunya juga pekerja jalanan. Jadi pemulung, dengan pendapatan cuma sekitar 250 ribu per bulan. Tapi usia kepala 6 membuat Edi harus menyerah di tangan Satpol PP yang merazianya. Sejak lima bulan silam, ia jadi penghuni Panti Werdha milik Dinas Sosial Jakarta. Lokasinya di Marga Guna, Jakarta Selatan.
Audio: Ini lagi bikin keset, injekan, alas kaki. (Bahannya apa?) Dari kain katun. Macem-macem, ada yang kasar dan halus. (Setiap hari bikin keset ini?) Kalau ini sih iseng aja, jadi nggak rutin bener. Jadi kalau tempo hari kan saya masih belajar, jadi lamaa bikinnya. Seminggu baru dapat satu, sekarnag satu hari satu.
Audio: Suasana di panti werdha
Di panti ini, Edi tinggal bersama 150-an lansia lainnya di dalam 8 barak yang tersedia. Mayoritas penghuninya adalah perempuan. Alasan mereka masuk panti bermacam-macam. Ada yang kena garuk seperti Edi, ada juga yang secara sadar memilih masuk panti. Seperti Umi, Maria dan Bolot.
Audio: Ibu kenapa tinggal di panti? (terdiam) Terus terang saya karena nggak punya anak. Dan saya tidak ingin menyusahkan saya punya keluarga. (nangis).
Audio: Saya nggak punya orangtua, nggak punya suami, nggak punya anak. Daripada kita ikut keponakan gitu, atau temen-temen, ya saya udah deh mau pasrah aja tinggal di panti. Kalo di panti kan enak, banyak sodara.
Audio: Karena sudah nggak bisa kerja, keluarga nggak mau tau. Kita udah nggak kerja, daripada jadi beban, kita kan repot sendiri. Kaki udah nggak mampu untuk jalan, dan tangan kiri juga nggak bisa untuk kerja. Kita kan diurus di sini.
Audio: Suasana di panti werdha
Saat ini tercatat ada 19 juta lansia di seluruh tanah air. Hampir 3 juta lansia masuk kategori miskin dan terlantar. Ini baru data tahun 2004, lima tahun lalu, yang masuk dipakai Departemen Sosial. Sisanya, hanya 10 persen yang mengantongi pensiun untuk menopang hari tua mereka.
Audio: Atun nyanyi Mars Lansia
Atun, penghuni Panti Werdha di Marga Guna menyanyikan Mars Lansia.
Sekarang Indonesia masih terhitung sebagai negara muda, dengan jumlah penduduk usia muda yang lebih banyak. Tapi 15 tahun lagi, jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan bakal melonjak tinggi karena kualitas kesehatan membaik dan angka harapan hidup makin tinggi. Kelak, satu dari empat orang Indonesia adalah lansia.
Sekitar 70 persen pekerja usia produktif saat ini bergerak di sektor informal. Tanpa pemasukan pasti, tanpa pensiun, seperti apa masa tua mereka kelak?
Audio Mars Lansia: Badan sehat jiwa kuat, sambut masa yang kan datang. Mutu hidup pun meningkat, masa tua bahagia…
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: (suara kendang) Untuk apa kebun yang indah… tanpa kemesraan bagaikan boneka…
Audio: (Dengan penghasilan segitu, cukup?) Kalo halal, ya cukup. (Dengan penghasilan sekarang, punya tabungan?) Belum, hehehe. Kadang dapat uang, habis. Kalo musim ujan nggak jalan. Kalo siang ujan, kan malam jadi sepi juga. Siang juga nggak jalan. Di rumah aja. Nggak ada usaha lain.
Rena, Daru dan Edi dari Grup Rembulan belum punya rencana apa-apa untuk masa depan mereka. Uang yang didapat hari ini terlalu sedikit untuk disimpan buat esok lusa. Apalagi untuk masa tua.
Kalau keuangan tak dijaga ketat, sangat mungkin mereka kelak masuk dalam kategori lansia miskin dan terlantar.
Audio: Sekarang kita mencari rumah lansia berikutnya yaitu Bapak Buang Hidup.
Di jalan ini ada sederetan rumah yang dindingnnya dari tripleks. Di sini tertulis RT 03 RW 011 Kelurahan Tegal Alur. Kami tengah mencari rumah Pak Buang, lansia yang akan kita kunjungi bersama relawan dari Yayasan Emong Lansia.
Ain dan Buang Hidup, pasangan lansia usia 80-an tahun ini, tinggal bersama anak cucu, di sepetak rumah ukuran 4x4 meter dengan dinding tripleks dan gedek. Rumah mereka persis di pinggir Kali Gang Manyar, Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, dekat Bandara Soekarno Hatta. Kali ini hitam pekat, penuh sampah. Satu-satunya penghasilan datang dari anak mereka, yang bekerja jadi buruh panggul.
Audio: Anak saya? Kalo lagi ada panggulan ya manggul. Kalo enggak ya ngerawat saya. Anak saya laki doang satu, ngikutin saya. (Penghasilan anak ibu?) Penghasilan ya.. manggul paling 20-50. Paling banyak dapet 50, kalo enggak paling 20. (Itu cukup?) Itu cukup nggak cukup dah. Abis pegimana, saya orang nggak punya, mau ke mana. Nggak ada yang dijual-jual. Cukup nggak cukup ya udah segitu saya.
Kedua lansia ini adalah bagian dari lansia yang didampingi lewat program home care atau perawatan lansia di rumah. Lansia tetap tinggal bersama keluarga, sekaligus mendapat bantuan dari para relawan pendamping yang tak digaji. Bantuannya bisa berupa sembako untuk sehari-hari, atau sekadar limpahan perhatian.
Audio: Maunya sih lebih sering, orang saya orang nggak punya. Dikasih lagi, saya kan girang bu. Kalo ada kunjungan kan enak. Orang kagak bisa nyari, diempanin. Yang ngempanin nggak ada.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia ada di belakang program home care di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, salah satu daerah tertinggal di ibukota. Program pendampingan lansia di sana adalah proyek percontohan. Sekarang ada 6 kota di Indonesia yang menjalankan program serupa.
Audio: Tapi kan banyak lansia yang terlantar karena tidak ada yang bisa kasih perhatian. Dia di rumah tapi terlantar. Tapi yang di jalnaan kan tidak ada jalan lain kecuali memasukkan ke panti karena kan mereka butuh shelter. Masih banyak yang tinggal di rumah tapi miskin, anaknya juga miskin banyak yang nganggur, lalu gimana. Kami memang sudah ada sasarannya. Lansia yang tinggal sendiri, sakit-sakitan, bed ridden, dll. Ini sasaran dari home care.
Dari 19 juta lansia yang ada sekarang, 15 persen diantaranya hidup miskin dan terlantar. Hampir 3 juta lansia inilah yang jadi PR besar bagi Departemen Sosial. Mereka masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, PMKS. Sialnya, dana mengurus lansia cekak, kata Sekjen Depsos Chazali Situmorang.
Audio: Wah kalo persen, nggak usah cerita lansia aja lah. Cerita Depsos dari 1030 triliun, anggaran yang diberikan hanya 3.4 triliun. Departemen ya. Jadi kalau ditukikkan lagi ke lansianya. Itu Cuma nol koma nol berapa persen itu. Jadi untuk cerita lansia, saya susah deh. Paling puluhan miliar lah. Jadi nggak usah presentase, karena digitnya nol koma nol.
Kalau dibandingkan 220 juta penduduk Indonesia, lansia yang 19 juta mungkin terlihat sedikit. Tapi percayalah, dengan kualitas kesehatan yang terus meningkat, jumlah lansia akan terus bertambah. Di sisi lain, kebanyakan pekerja muda sekarang adalah pekerja sektor informal yang pemasukannya pasang surut, tak terpikirkan untuk menyisihkan pensiun. Padahal, kata Eva, mereka juga sudah bekerja demi negara sehingga sudah selayaknya ikut dipikirkan oleh negara.
Audio: Lansia miskin itu 2.7. Yang tertangani dengan berbagai program, itu belum sampai 500 ribu. Dibandingkan 2.7, yang ditangani baru paling 300-an, itu kan kecil sekali. Dan bagiamana, kan tidak bisa semua masuk panti? Ada yang bisa di home care. Tidak semua bisa masuk home care. Lalu kenapa kita tidak punya jaminan hari tua. Kan mereka juga sudah bekerja untuk Negara. Kenapa tidak ada perhatian? Mereka dapat pensiun dari mana?
Sejak 2004, Indonesia sudah punya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Oktober tahun ini, mestinya aturan dalam UU tersebut sudah direalisasikan. Bagian kelima UU SJSN mengatur soal Jaminan Pensiun. Pesertanya adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Karena ada iuran inilah, menurut Sekjen Depsos, yang juga anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional DJSN Chazali Situmorang, pemerintah memprioritaskan pemberian pensiun kepada pekerja di sektor formal.
Audio: Di dalam UU itu, hak pensiun masih diutamakan kepada yang bekerja. Jadi bekerja di sektor formal. Ya itulah, karena pemerintah kalau semua dibuka, semua dapat pensiun, nggak mampu juga kan anggarannya. Kan sudah diperhitungkan. Bagaimana suatu UU diterbitkan kalau tidak bisa dilaksanakan?
Artinya ada 70 persen pekerja sektor informal yang kelak terancam jadi lansia terlantar, kalau Negara tak menyiapkan skema pengaman hari tua. Sejauh ini, Depsos yang bertugas mengurus lansia mengandalkan pada program Jaminan Sosial Lanjut Usia, lewat pemberian uang 300 ribu per orang per bulan. Tapi lagi-lagi, semua tergantung anggaran Negara, kata Chazali Situmorang, Sekjen Depsos. Dan itu, cekak.
Audio: Ke depan kalau anggaran memungkinkan kita akan berupaya supaya yang dapat jaminan sosial lebih banyak lagi. Inilah tugas pemerintah. Kalau anggaran bertambah, atau CSR kita jalan, kita bisa dorong ini. Ini kan sangat efektif. Dengan memberikan bantuan lansia ini, segmennya jelas dan dia tidak jadi beban keluarga itu.
Audio: Suasana dalam omprengan
Farid yang supir omprengan, Leni yang penjaga toko telepon selular dan Sumpena yang pedagang asongan, tak berani merancang masa tua mereka kelak.
Audio: Persiapan untuk hari tua? Belum. Ya nggak butuh apa-apa. Yang penting kecukupan saja untuk anak sekolah. Buat masa tua belum kepikiran. Kalo ada modal, usaha, biar ada untuk masa tua. Saking gak ada modal, terpaksa gini, sampai tua pun jadi.
Audio: Untuk masa tua? Masih pingin kerja kalau bisa kerja. Sampai nggak bisa kali, sampai 35 tahun. Abis itu berhenti? Iya. Kalo udah berhenti kerja? Mau usaha di rumah.
Audio: (Penghasilan sebulan?) Nggak tentu. Kadang 30, kadang 25 ribu, sehari. (Persiapan buat hari tua?) Belum, baru ngumpul-ngumpul aja. Duit gitu. (Rencana hari tua?) Kalo udah punya duit mah diem aja di rumah.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia tak banyak berharap pada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan sistem dan pendataan lansia yang sulit diandalkan, bisa-bisa nasib lansia baru membaik setelah dua generasi. Karenanya, Eva lebih percaya kepada persiapan tiap orang untuk masa depannya masing-masing.
Audio: Masing-masing harus juga memikirkan. Jangan terlalu harpakan pemerintah yang akan memelihara kita. Kita sendiri juga harus bertanggung jawab. Sekarang 85 persen lansia oke, berarti kan mereka mempersiapkan diri. Tapi nanti kan berubah, kita gak mengharapkan apa-apa dari pemerintah. Jangan mengharapkan, Anda menjadi tua dan akan dibantu pemerintah. Jangan harapkan itu. Secara logika nggak mungkin.
Audio: Suasana Anto bikin rujak, Garam, sambel? Ini mangganya mangga rujak ya.
Sembari memotong mangga, semangka, jambu dan pepaya, serta menambahkan bumbu kacang, Anto bercerita soal persiapan hari tuanya. Pendapatan sebagai tukang rujak akan dipakai untuk pulang kampung dan nyawah, kata dia.
Audio: (Bapak dengan tiap hari bisa dapat 400 ribu, puyna tabungan?) Sedikit-sedikit ada sih. Ada lah. (Persiapan untuk hari tua?) Ada lah sedikit-sedikit. (Persiapannya apa saja?) Beli tanah, persiapan bikin rumah, beli sapi kambing. Tabungannya di situ doing. Kalo tabungan di bank, nggak ada. (Kalo udah tua, Bapak nggak punya penghasilan, nggak bisa dagang rujak lagi, gimana persiapannya?) Satu-satunya paling kalo udah mentok ya tani. Kan kita udah beli tanah. Kalo udah mentok, tenaga udah lemah, paling tani. Di rumah sambil dagang kecil-kecilan. Planning saya begitu doang.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Sementara Rena, Daru dan Edi tak kuasa memikirkan bagaimana masa tua mereka kelak.
Audio: Suasana Grup Rembulan, (Nggak ada tabungan, kira-kira persiapannya gimana?) Nggak tau juga deh, belum mikir ke sono ya. Nggak ada pensiunannya di musik, nggak ada yang gaji. Ada yang gaji, tukang sate, hahaha.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Jeraa.. bercintaaa.. Jeraaa.. jera jera jera jeraaa.. Jeraaa.. bercinta jera jera jera jera…
[Citra Prastuti KBR68H | Ziphora Robina DW]
Subscribe to:
Posts (Atom)