Thursday, April 28, 2011

Pasar Gebrak, Penyelamat Pedagang Kecil


Pedagang kaki lima sering dianggap sebagai perusak wajah kota. Semrawut, kotor, mengganggu fasilitas umum. Kini mereka punya cara baru, berkeliling keluar masuk pemukiman kelas menengah-bawah di Jakarta. Menghampiri pembeli langsung ke tempat tinggal. Tetap tak diakui pemerintah, tapi pedagang kecil ini ikut menggerakan ekonomi kelas bawah. Sampai kapan mereka bisa bertahan? Reporter Andreas Ronny mendatangi lokasi pedagang musiman ini di Alun-alun Bandar Baru Kemayoran.









Pasar Gebrak Jakarta by sagakbr68h


BLOK I

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai ora

ng

KBR68H: Saya berada di Alun-alun Bandar Baru Kem

ayoran, kawasan pemukiman yang dulunya adalah bandara udara Kema

yoran, Jakarta Pusat. Alun-alun ini dikelilingi beberapa menara rumah susun, apartemen, dan di tengah-tengah ada Masjid Akbar Kemayoran. Ra

tusan pedagang makanan memancing selera setiap malam. Dan tiap akhir pekan, ratusan pedagang kecil men

ggelar lapak mereka di ruas jalan umum sepanjang 100-an meter ini. Baju, celana, s

epatu, riasan perempuan, mainan anak, semua ada. Alun-alun ini menjadi ruang publik bagi warga sekitar.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

KBR68H: Satu lapak penjual sepatu menarik perhatian saya. Berbagai sepatu olahraga, sepatu aktifitas luar ruang, tersusun rapi di meja lapak. Pedagangnya bernama Ninuk, usia 30 tahun.

NINUK: Hampir setahun saya jualan di sini. Untuk ngisi bazar macam ini. Nama Ninuk, usia jalan 30.

KBR68H: Ngambil barang dari mana?

NINUK: Ada yang dari Taman Puring, Pasar Ular, Tangerang.

KBR68H: Soal kualitas dan harga?

NINUK: Kalau yang model biasa ya harga pasaran ya. Kalau barang impor itu harganya variasi, paling mahal 200-250 ribu. Pastinya lebih mahal di toko, kan beda dengan kaki lima.

Ninuk banyak bergaul dengan komunitas skateboard dan komunitas sepeda balap. Dari pergaulannya itu lah ia sering mendapat koleksi sepatu unik untuk dijual. Di Kemayoran, pasar gebrak akhir pekan disebut sebagai bazaar.

KBR68H: Gimana prospeknya?

NINUK: Namanya dagang ada pasang surut, tapi kita bertahan karena kita punya barang berbeda. Kita maen barang asli, barang display dari toko. Jarang yang jual kayak kita gitu.

KBR68H: Saya pun beruntung menemukan sepasang sepatu yang harganya 2 kali lebih murah dibanding harga toko. Kualitas? Saya yakin ini bukan barang palsu. Nah berapa ya pendapatan pedagang gebrak ini?

NINUK: Kalau umpamanya untuk pendapatan, habis bulan atau malam weekend, Ramadhan, pembeli banyak dan kondisi memungkinkan di alun-alun Kemayoran ini. Bisa 1-2 juta per malam. Kala seret laku 3 pasang juga bagus dah. Modal dari kecil juga sih, awalnya iseng, mulai 1,5 juta eh keasikan.

ATMOS: suasana tawar menawar penjual-pembeli

KBR68H: Anda sering berbelanja di sini?

WINATA: Saya tinggal di Apartemen Kemayoran ini, yah... bagus juga bisa lihat-lihat dagangan ini.

KBR68H: Bagaimana soal harga dan kualitas?

WINATA: Jelas lebih murah dibanding di toko ya. Beberapa barangnya juga bukan murahan sih. Tapi kalau belanja ya tergantung kebutuhan lah.

Itu tadi Winata, warga Apartemen Kemayoran. Hampir tiap pekan ia menyempatkan diri melihat-lihat barang dagangan di bazaar ini.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Pengamat ekonomi Usaha Kecil Menengah, Slamet Riyadi mengatakan, tekanan ekonomi mendorong pedagang kaki lima berinovasi. Mereka menghampiri langsung pembeli di tempat tinggalnya.

SLAMET: Pasar gebrak ini awalnya adalah pedagang kaki lima yang berdagang di kawasan pabrik industri. Pedagang tahu kapan saatnya buruh-buruh menerima upah. Ini jadi inovasi mereka yang ternyata sukses dilakukan dan masih jalan, sekarang berkembang pesat. Di beberapa perumahan mereka bikin kesepakatan dengan warga, bikin pasar kaget di hari tertentu.

Di Alun-alun Bandar Baru Kemayoran, pedagang pasar gebrak juga berkoordinasi dengan warga setempat, kata Ninuk, pedagang sepatu.

NINUK: Ada dari ormas-ormas dan warga setempat. Dia yang bentuk panitia. Ini kan jalan umum. Tapi mereka mewakili perijinan, diijinkan, ada syarat bayar sekian. Dulu abis bulan puasa kemarin, kita gak boleh dagang 3 bulan. Alasannya waktu itu kordinator panitianya berantakan. Sekarang lebih terkordinir.

Alun-alun ini mulai ramai didatangi pedagang kecil sejak 3 tahun lalu. Tapi saat itu belum ada koordinasi yang rapi. Kata Ninuk, pedagang bisa saling rebutan lapak dan rentan digusur. Kini dengan iuran 120 ribu rupiah per malam, mereka bisa berdagang dengan nyaman.

NINUK: Sekarang jatuhnya resmi, ada panitia resmi, gak khawatir gusur. Tapi kan ikutin cara panitia, harus bayar sekian.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Selain di Kemayoran, sesekali Ninuk membawa dagangannya ke kawasan Pulomas, Jakarta Timur atau ke Kalibata, Jakarta Selatan. Di sana ia juga bergabung bersama para pedagang kecil, menghampiri pembeli. Untuk mendukung lapak yang dibuka di beberapa tempat, Ninuk mengajak keluarga dan temannya untuk membantu. Dengan sistem upah, Ninuk membuka lapangan kerja kecil-kecilan.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Ada 300an pedagang kecil macam Ninuk di Alun-alun Bandar Baru Kemayoran. Kalau rata-rata pendapatan tiap pedagang bisa mencapai sejuta rupiah semalam, maka ada ratusan juta rupiah uang berputar di sana. Pengamat ekonomi Usaha Kecil Menengah UKM, Slamet Riyadi mengatakan, keberadaan pasar gebrak macam ini menunjukan kegairahan ekonomi masyarakat.

SLAMET: Dari sisi ekonomi masyarakat ini baik, bagus. Ada pasar yang mereka ciptakan sendiri. Ini informal betul, antara permintaan dan penawaran, dan mereka tidak perlu membuat lokasi yang permanen. Dalam sisi perkembangan ekonomi masayrakat ini sangat bagus, ada transaksi, jual-beli. Saya pernah tanya di suatu komplek perumahan, dalam satu hari pasar kaget perputaran uang mencapai 2-3 miliar.

Tapi keberadaan pasar gebrak macam ini tetap rentan karena mereka tak menempati pasar permanen. Berapa lama mereka bisa terus bertahan?

BLOK II

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Warga Kemayoran, Winata mengatakan, selama ada pengaturan yang jelas, pedagang bisa tertib dan bersih, warga tidak dirugikan dengan keberadaan mereka.

KBR68H: Para pedagang mengaku sudah ada kesepakatan dengan warga?

WINATA: Ada yang mengkoordinir mereka. Warga tahu itu. Buat saya sih gak masalah. Toh mereka di daerah alun-alun ini ya, meski ada bagian jalanan umum tapi gak mengganggu. Dan yang penting jaga kebersihan sih.

Namun posisi pedagang kaki lima di pasar gebrak macam ini tetap rentan. Juru Bicara Dinas Pasar Pemerintah Jakarta, Nur Havidz mengatakan, pemerintah tetap menilai pedagang kaki lima harus ditertibkan dengan cara dimasukan ke dalam pasar permanen.

NUR: Kita kan beri beberapa alternatif solusi. Contoh di Tanah Abang. Daripada di jalan kita tampung di Pasar Blok J. Tapi mereka punya kebiasaan ya, mereka menyongsong pembeli. Kita tempatkan di atas, suratnya mereka jual, mereka kembali ke jalan. Lalu di Glodok, kita kasih pedagang K5 masuk ke dalam, dan kita promosikan gratis 6 bulan. Tapi hanya 1-2 bulan mereka turun lagi ke jalan.

Pedagang sebetulnya tak menolak ditempatkan di kios permanen, tapi ongkos sewanya lebih mahal, kata Ninuk, pedagang pasar gebrak Kemayoran.

NINUK: Kalau nyewa kios ya, lebih mahal ya. Orang lebih dominan di K5, dan perputaran cepat. Kalau mau kios kan harus kontrak tempat, kecuali punya tanah sendiri. Modalnya habis di sewa tempat.

Ninuk mengaku, pedagang kecil di pasar gebrak hanya tahu membayar iuran ke koordinator. Tidak ada pajak atau retribusi lain yang masuk ke kas pemerintah daerah.

Nur Havidz, Juru Bicara Dinas Pasar Jakarta mengklaim, hasil surveinya menunjukan uang kutipan yang harus dibayar pedagang kaki lima lebih besar dibanding ongkos sewa kios di pasar permanen.

NUR: Jadi PD pasar kasih solusi, tapi ini perlu komitmen juga dari aparat setempat. Kalau aparat ‘menempatkan’ mereka ya sulit juga.

KBR68H: Jadi ada semacam perlindungan?

NUR: Itu kewenangan di wilayah lah, apakah oknum atau apa. Ya itu tadi, selain habit tapi mental aparat wilayah juga. Gimana oknum ‘menata’ mereka, premanisme, ini kan bayar gak gratis.

Pengamat ekonomi UKM, Slamet Riyadi mengatakan, memang sulit menarik pajak dari pedagang kaki lima karena sifatnya yang tak permanen. Tapi ada bentuk kontribusi lain yang diberikan para pedagang kecil ini terhadap perekonomian.

SLAMET: Tapi kan ada retribusi tak langsung juga. Yaitu perputaran ekonomi, pendapatan meningkat, pajak didapat dari pendapatan atau perolehan barang. Pasar kaget kan ada juga barang yang dihasilkan masyarakat sendiri juga, dari usaha-usaha UKM. Jadi ini menciptakan peluang usaha juga, lapangan pekerjaan. Ini yang saya maksud, ke efek pendapatan daerah mungkin kecil, tapi efek tidak langsungnya mereka jual barang yang membuat daya beli tinggi, sehingga bisa melakukan pembelian dan berarti kan bayar pajak juga.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Kembali ke pasar gebrak Kemayoran. Tantangan terberat bagi Ninuk adalah cuaca.

ATMOS: suara petir dan hujan

NINUK: Mulai jam 5 sampai jam 11-12, atau malam minggu bisa sampe jam 1. Kondisi hujan ya bubar jalan. Semalem baru buka bentar eh hujan, ya bubar lah. Hahaha. Tapi usaha harus berani lah. Yakin untuk jalanin lah. Kalau yakin ya gimana caranya pasti bisa jualin.

ATMOS: suara pedagang menawarkan dagangannya, suara musik-musik, motor, ramai orang

Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Andreas Ronny.

No comments:

Post a Comment