Thursday, February 5, 2009

Bullying Terus Terjadi


Atas nama disiplin, masih banyak guru yang percaya bahwa tindak kekerasan bisa mendisiplinkan anak. Padahal sekolah adalah tempat cari ilmu, bukan tempat jadi korban kekerasan. Sekolah, mestinya, bisa memberikan rasa aman seperti rumah. Tapi alih-alih aman, anak justru bisa bonyok di tangan guru. Reporter KBR68H Rezki Hasibuan memotret secuplik fenomena guru yang menjadi pelaku kekerasan dan mencari tahu kenapa ini masih terus terjadi.

Audio: Suasana Awaluddin Korompot menampar 18 siswa

Ini adalah suara rekaman ketika Awaludin Korompot, guru SMK 3 Gorontalo, menampar 18 siswanya.

Awal mulanya begini. Awaludin tengah mengajar di kelas. Lantas ada belasan siswa yang lewat setelah belajar pengukuran kesehatan jasmani. Mereka lewat sambil bersenda gurau, Awaludin kesal karena merasa terganggu. Ia lalu keluar, membariskan ke-18 siswa tersebut dan menamparnya satu per satu.

Audio: Suasana Awaluddin Korompot menampar 18 siswa

Awaludin tak sadar kalau aksi main tampar ini direkam lewat telefon selular salah satu siswa. Rekaman itu lantas tersebar ke mana-mana, sampai akhirnya status guru Awaludin Korompot dicopot.

Sekolah adalah tempat belajar, bukan tempat unjuk kekerasan. Kenyataannya, masih banyak sekolah dengan guru-guru ringan tangan macam Awaludin Korompot.

Audio: Suasana sekolahan

Udin adalah siswa kelas 3 SD, di sebuah SD Negeri di Jakarta. Ia meminta namanya dirahasiakan, baru mau bercerita tentang kekerasan yang diterimanya. Gara-gara tak lancar membaca, dua gigi depan Udin rontok, bibir dan gusinya cedera akibat benturan.

Audio: Dijedotin ininya ke pinggir meja (gara gara apa?) bacanya pelan. Yang luka bibir sama gigi dan baham eh baham gusi.. abis itu aku ke kamar mandi kumur-kumur abis itu aku disuruh baca lagi...

Setelah kejadian itu, Udin bicara pada media. Ibu guru yang menampar, katanya akan dipindahkan. Tapi setiap hari Udin masih bertemu sang guru. Justru Udin yang dipindah, dari kelas siang ke kelas pagi, tetap di sekolah yang sama.

Audio: Suasana sekolahan

Audio: Pas lagi jam istirahat di dekat kelas gue itu ada kelas kosong gue main main di situ. Kejadian agak absurd dua langsung maen gampar gue. Gue gak tau apa-apa tapi gue takut juga akhirnya gue diam. Tampaknya dia hanya menunjukkan otoritas saja, karena setelah itu dia cerita-cerita ke murid lain dan guru lain bahwa dia sudah mukul gue dan gak diapa-apain di sekolah.

Aribowo Sangkoyo kini sudah 28 tahun. Kenang-kenangan akan masa SD yang tak terlupakan adalah ketika ia dipukul oleh si guru. Hingga kini rahangnya bermasalah akibat dipukul.

Audio: Yah akhirnya gini, sampai sekarang rahang gue masih bunyi kalau lagi mengunyah....

Audio: Suasana sekolahan

Husni, fotografer lepas, meski kini usianya sudah kepala 4, masih harus mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit. Nyeri di kepala bagian belakang kerap kumat. Dulu, semasa SMP, kepala bagian belakangnya dipukul oleh guru olahraga.

Audio: Tanpa ini, main pukul kepala saya, suasana jadi diam bahkan akibatnya bahkan dipukul kepala belakang. Akibatnya saya mengalami kunang-kunang mata selama beberapa hari. Belajar pun jadi terganggu

Cerita 18 siswa di Gorontalo, Udin di Jakarta yang terjadi sekarang rupanya tak jauh beda dengan yang dialami Bowo dan Husni bertahun silam. Ini menunjukkan, metode hukuman dengan kekerasan masih dilestarikan oleh sejumlah guru.

Pakar pengajaran dari LSM PLAN Indonesia Sudiyo menduga, sistem kekerasan ini terpengaruh gaya mendidik ala militer. Padahal yang dididik guru bukan tentara, hanya anak-anak.

Audio: Apakah dulu warisan sistem militerisasi dari Belanda dan Jepang itu kurang paham juga yah. Tapi yang juelas di sekolah-sekolah kalau mau mendisiplinkan anak yah seperti di militer. Seperti harus berbaris seperti di militer. Itu menjadikan anak gak nyaman. Dia anak akan berpikir koq saya diperlakukan seperti militer atau tentara.

PLAN Indonesia sempat melakukan penelitian soal penyebab tindak kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah pada 2008. Sampelnya diambil dari tiga kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta.

Hasilnya begini. Lebih 25% kekerasan di SMP dilakukan oleh guru. Lebih 20% kekerasan di sekolah tingkat SMA terjadi akibat hukuman fisik dari guru ke siswa. Jakarta ada di tempat pertama, sebagai kota dengan tindak kekerasan guru terhadap siswa yang cukup tinggi. Total, hampir separuh kekerasan yang terjadi di sekolah, pelakunya adalah guru.

Juru Bicara PLAN Indonesia Paulan Aji mengatakan, tak hanya Indonesia yang masih memelihara budaya kekerasan guru ke siswa, tapi juga Negara-negara lain.

Audio: Jangan salah, teman kita di Irlandia mengatakan pendidikan dengan model memukul biasa. Di Belanda biasa juga. Jangan-jangan kita meniru metode pendidikan masa lampau yang menggunakan stik. Di Afrika menggunakan juga di India menggunakan juga di beberapa negara asia juga masih memakai metode pendidikan dengan memukul dan mencaci

Singapura, tetangga dekat Indonesia, juga masih memelihara budaya kekerasan. Bahkan ada undang-undang yang secara resmi memuat kalau guru boleh memukul murid. Ketentuannya, guru hanya boleh memukul telapak tangan siswa laki-laki. Siswa perempuan boleh bersyukur karena mereka dilindungi dari berbagai jenis kekerasan.

Paulan Aji dari PLAN Indonesia mengingatkan, sudah ada 23 negara di dunia yang melarang segala macam bentuk hukuman fisik terhadap anak. Di Indonesia sebetulnya sudah berlaku aturan ini, lewat Undang-undang Perlindungan Anak.

Tapi kenapa masih saja terjadi kekerasan guru terhadap siswa?

Audio: Suasana sekolahan

Audio: Apalagi yang dipukul daerah kepala saya benar benar tak bisa terima. Anak saya ngalamin tuuuh, walau cuma pakai koran digulung. Tapi, anak saya malu tuh. Dia bilang khan sudah gede ngapain dipukulin lagi. Di depan teman-temannya lagi. Ini khan benar-benar tak punya perasaan gitu loooh...

Johan Romadhon tak bisa terima anak perempuannya, Maryam, dipukul kepalanya oleh guru. Ia tak habis pikir, kenapa harus ada kekerasan fisik ketika anaknya tak lancar membaca tulisan Arab.

Audio: Suasana sekolahan

Yang juga tak dihitung oleh guru adalah perasaan malu karena diperlakukan kasar di hadapan teman-temannya. Tapi Eni Komala Sari, guru SMK UISU Medan, tegas mengatakan, hukuman macam begini masih diperlukan. Kata dia, kenakalan anak-anak makin hari makin membuat jengkel.

Audio: Ya muridnya kadang kalo kita lagi menerangkan dia gosip, main HP. Di SMK kami HP gak dirazia tapi tolong di silent. Tapi gak di silent dia balas SMS ngutak atik HP. Bahkan ada yang nyanyi bersenandung. Yah terpaksa kita hukum cubit kita panggil ke depan

Karena itulah, Eni percaya, hukuman fisik masih diperlukan.

Audio: Gimana yaa sebenarnya gak mau pukul gak mau mencubit gak mau menampar. Tapi kita ngomong ke depan ini anak bakal jadi orang-orang yang berguna. Apalagi anakl sekaang luar biasa kurang ajarnya luar biasa tak beretikanya. Jadi mau tak mau harus fisik

Audio: Suasana sekolahan

Eni Komala menyesalkan langkah SMK 3 Gorontalo yang mencopot guru Awaludin Korompot karena menampar 18 siswanya. Eni dan sejumlah guru berniat melakukan unjuk rasa ke kantor DPRD Sumatera Utara. Mereka meminta supaya guru tak diberi sanksi jika member hukuman kepada siswa.

Audio: Kami herannya kenapa hukum ini selalu memanjakan orang tua dan murid, jadi kami guru ini buat apa. Kita mau diatur murid atau kita mengatur murid. Kalau kita diatur murid mau jadi apa anak itu ke depan. Orang tua mengirim anak ke sekolah untuk dapat ilmu khan. Kalau gak mau dapat ilmu otomatis hukuman yang kita kasih.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia PGRI Sulistiyo sependapat dengan Eni Komala. Sulistyo menekankan, ada perbedaan antara hukuman fisik yang dilakukan guru dengan penganiayaan yang dilakukan penjahat.

Audio: Guru kalau terpaksa harus menghukum ini sebenarnya berniat agar kenakalan anak itu tak berlarut-larut. Hukuman dalam pendidikan diperbolehkan. Ketika guru bermasalah karena hukuman jangan disamakan dengan penganiayaan yang dilakukan oleh penjahat. Hukuman guru bernilai pendidikan beda dengan apa yang dilakukan penjahat kepada kita.

Audio: Suasana Awaluddin Korompot menampar 18 siswa

Audio: Pas lagi jam istirahat di dekat kelas gue itu ada kelas kosong gue main main di situ. Kejadian agak absurd dua langsung maen gampar gue.

Audio: Tanpa ini main pukul kepala saya, suasana jadi diam bahkan akibatnya bahkan dipukul kepala belakang.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi jelas tak sepaham. Bagi Seto, mendidik pasti bisa dilakukan tanpa memasukkan unsur kekerasan.

Audio: Memang harus siakui ini fenomena gunung es. Kekerasan terhadap anak yang dilakukan guru atau pendidik ini keliru. Ini karena masih kuatnya paradigma keliru dalam mendidik. Mereka pikir untuk membuat anak disiplin itu perlu unsur kekerasan

Kak Seto mengatakan, anak bisa disiplin jika mereka senang dengan metode pengajaran yang ditawarkan guru.

Audio: Iya mungkin dengan pemahaman sebagai berikut. Belajar yang efektif adalah belajar yang menyenangkan. Coba dengar pendapat dari shinizi suzuki. Pakailah cara mengajar dengan belajar kepada ibu. Anak-anak gampang belajar dengan bahasa ibunya karena mengajarnay dengan penuh kasih sayang. Akhirnya belajar nya menyenangkan sehingga bisa menguasai pelajaran dengan cepat

Anak-anak, kata Ketua Komnas Anak Seto Mulyadi, adalah peniru yang baik. Aribowo Sangkoyo, 28 tahun, yang dulu pernah dipukul guru, percaya itu.

Audio: eeeh salah satu dampak gue pernah dikerasin oleh guru waktu kecil , gue jadinya biasa melihat kekerasan sekarang ini ( ini semua karena perisitiwa itu?) gue sih curiganya itu tuh salahs atu faktornya itu. Soalnya kalau anak kecil mengalami peristiwa seperti itu ingat sampai gede

Audio: Iya karena anak-anak adalah peniru yang terbaik. Murid kencing berdiri guru kencing berlari. Jadi kalau anak-anak sekarang tawuran mohon dicatat ada faktor oknum guru disana. Ada guru yang merusak citra pendidik dengan kekerasan dan anak menirunya lebih dahsyat lagi...

Audio: Suasana tawuran

Pakar psikologi remaja dan anak-anak dari Universitas Indonesia Vera Italibiana meminta guru lebih kreatif mencari metode baru untuk mengajar, demi menjauhkan diri dari kekerasan.

Audio: Hukuman dalam bentuk fisik itu sangat tak dianjurkan karena dalam satu sisi akan menyakiti anak dan tak berpengaruh apapun bagi pembentuka n perilaku anak. karena sia anak Cuma sakit, diingatnya terus dan parahnya si anak menajdi terbiasa dan menganggap kekerasans ebagai salahs atu cara menyelesaikan masalah

Audio: Suasana sekolah


[Rezki Hasibuan | KBR68H]


foto: www.indyra.wordpress.com

No comments:

Post a Comment