Friday, March 20, 2009
Komunitas Penikmat Buku Silat
Buku bacaan dengan latar belakang budaya Tionghoa terhitung unik dibandingkan buku fiksi lainnya. Setiap buku disandingkan dengan ajaran budi pekerti serta filosofi hidup yang kental. Tapi keberadaan buku bacaan seperti ini sudah makin jarang ditemui di pasaran. Reporter KBR68H Anto Sidharta menemukan adanya keterkaitan antara kebijakan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa saat Orde Baru terhadap penjualan buku-buku ini.
Audio: Musik Cina
Audio: Klo kami bawa buku dari luar negeri, kebetulan cerpen yang kami senangi atau prosa gitu, kami harus umpetin ke koper yang paling ujung supaya tidak keperiksa. Tetapi pada saat di bea cukai/imigrasi menemukan itu disita. Kami susah sekali mendapat buku-buku. Mungkin, buku silat kami juga baca yang hanya terjemahan misalnya ko ping ho
Jeanne Laksana masih ingat zaman kelam Orde Baru. Ia sebagai penulis buku Tionghoa-Indonesia ikut merasakan ketatnya pemerintah melarang penerbitan dan kehadiran buku-buku berbahasa Mandarin dan berlatar belakang Tionghoa.
Nancy Wijaya, pengamat budaya Tionghoa, juga masih mengalami situasi seperti itu.
Audio: Waktu tahun 70-an saya ke hongkong pulang saya bawa komik Mimpi Di Gedung Merah, itu sebetulnya cerita tentang cinta. Sastra klasik tiongkok yang sangat popular bahasa Mandarinnya Kung Long Mung. Begitu sampa di airport dirampas, saya bawa Tiga Negara juga diambil.
Buku-buku itu pun sulit didapatkan. Karenanya, Nancy hanya bisa mem-fotokopi buku yang ia gemari itu. Sementara buku-buku peninggalan orangtuanya sengaja dibakar demi keamanan.
Audio: Musik Cina
Ketatnya pengawasan pemerintah Indonesia masa Orde Baru ikut melumpuhkan kreativitas para penulis buku bacaan berlatar belakang Tionghoa. Sung Hua alias Fendy Wijaya, Sekretaris Perhimpunan Penulis Tionghoa-Indonesia, PPTI.
Audio: Hampir 30 tahun kita gak pernah ngarang. Rubriknya gak ada. Khususnya di luar pulau. Ada yang SMA pun mereka lama tinggalkan sudah gak bisa menulis, surat pun gak bisa misalnya dengan bahasa mandarin..lupa sudah..
Pasca tumbangnya Orde Baru, kata Fendy, ia dan belasan temannya membentuk Perhimpunan Penulis Tionghoa-Indonesia. Kini, anggotanya sudah 200 orang, tersebar di banyak kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan. Komunitas ini lantas menjalin kerjasama dengan penulis sastra Indonesia.
Audio: Kita berkeinginan supaya mengembangkan sastra mandarin dan mengadakan kontak dengan sastrawan Indonesia. Seperti KSI (Komunitas Sastra Indonesia) kita sering kontak pikiran bgm komunikasi dengan baik dengan mereka. Buku2 yang diterbitkan kerja sama dengan mereka. Mereka seperti Wowo, Amadun, Diah hardani.
Kerjasama ini sedikit banyak menumbuhkan kembali semangat para penulis dan penerjemah buku bacaan Tionghoa untuk berkarya. Misalnya Wilson Tjandinegara, wartawan Koran Mandarin yang juga seorang penerjemah. Belasan karya dan terjemahkan sudah ia luncurkan.
Audio: Kumpulan puisi bisikan hari tahun 96, puisi cinta mandarin 98, menyanggga dunia di atas bulu mata, kumpulan cerpen mini Yinhua tahun 99, 101 puisi mandarin tahun 2000..
Audio: Musik Cina Audio: Wilson membaca puisi dalam bahasa Mandarin
Wilson Tjandinegara dengan karyanya yang bertemakan hidup rukun dan damai bermasyarakat.
Audio: Wilson membaca puisi dalam bahasa Mandarin
Namun semangat saja tak bisa menghasilkan uang. Buku-buku yang sudah diciptakan dan diterjemahkan, banyak yang pembayarannya tak adil. Potongan dari toko buku sangat besar, kata Wilson.
Audio: Walau kita isa kerjakan, tapi kita tidak bisa menghasilkan uang untuk melanjutkan pekerjaan berikutnya. Konsinyasi di toko buku dipotong 52,5 persen. Sangat besar itu. Kita hanya dapat 47,5. itu pun klo laku kami terima. Sangat menyakitkan itu. Kami terpaksa itu karena semestinya mll jaringannya, tapi kami tidak punya, kecuali pada waktu tertentu itu pun terbatas.
Hasil yang diterima Wilson tak sebanding dengan sulitnya bekerja untuk menerjemahkan atau menyadur karya-karya berbahasa Mandarin. Padahal ini kemampuan yang hanya dimiliki orang tertentu,jumlahnya pun terbatas. Orang paling muda yang punya kemampuan seperti Wilson kini berusia hampir setengah abad. Tidak ada anak muda yang mahir di bidang ini, kata Ketua Perhimpunan Penulis Tionghoa-Indonesia, PPTI Jeanne Laksana.
Audio: Sudah banyak yang meninggal akrena sudah tua-tua. Yang masih hidup yang terkenal namanya Oey Thong Peng di Surabaya. Beliau banyak mengarang cukup banyak dan terkenal di luar negeri. Tahun 50-an kita paling jaya, dibadingkan dengan singapura, Thailand dan Filipina. tapi sekarang Indonesia di paling bawah.
Audio: …Banyak sekai karya tulisnya. Ada karya tulis Kwang Tung Ping ada 10 seri yang diterbitkan oleh yayasan Pintu Emas…adalagi Sen Wei Sen, wartawan senior dari koran nusantara…)
Nancy Wijaya memperlihatkan deretan buku yang ada di perpustakaan Perhimpunan Indonesia Tionghoa, INTI. Tapi buku-buku ini hanya bisa berada di perpustakaan, karena pemasarannya sulit. Peminatnya sedikit, kata Budi Tanuwibowo, pengamat buku.
Audio: Karena orang tionghoa tersebar dan memahaminya termasuk golongan tua terpelajar, sementara generasi muda juga baru mulai belajar, sehingga klo dikumpulkan di kota2 gak begitu banyak. Apalagi cerita2 yang berbau sehara dan melibatkan banyak tokoh yang baca bingung. Tokoh ada ratusan, inget satu lupa yang lain.
Tapi seretnya pemasaran tak hanya karena sedikit peminat, kata Nancy. Ini tak lepas dari kebijakan pemerintah masa lalu, kata dia. Nancy meminta, kebudayaan tak semestinya dipolitisir.
Audio: Belajar sastra itu jangan dipolitisasikanlah. Kasih kebebasan untuk kita membaca. Sastra ini tidak patut beredar di Indonesia, saya kira itu tidak perlu. Saya perlu kita perlu perbandingan kan, jangan diinikan. Misalnya ini sastra yang depresif, yang tidak pantes di Indonesia. Jangan dikotak-kotakanlah.
Buku-buku cerita dengan latar belakang Tionghoa dikenal sarat filosofi hidup. Seperti apa saja kah?
Audio: Musik Cina
Cerita dengan latar belakang Tionghoa biasanya ditandai dengan keunikan. Ceritanya membuat pembaca penasaran, juga sarat dengan ajaran budi pekerti dan filosofi hidup.
Chichi Bernardus, ibu dengan empat anak, mengaku banyak menyerap pelajaran hidup dari cerita-cerita itu. Dari cerita itulah, ia dan suaminya mendidik anak laki-laki mereka, supaya bisa mencontoh perilaku seorang tokoh di cerita yang mereka baca.
Audio: Kita berikan dia komik Sintiauw Hiaplu, klo bahasa hokiannya. Itu bercerita soal tokoh anak bernama Yoko yang dia dari kecil tidak kenal ayahnya, dilecehkan temen2nya, dia hidup miskin dan sebatang kara gak punya orang tua. Cerita itu masuk sekali ke dalam pikiran dia.
Nancy Wijaya, pengamat budaya Tionghoa, menyebut karya sastra Tionghoa sebagai sastra klasik. Kaya ilmu, kata Nancy, seperti yang ada dalam buku sastra ‘Kisah Tiga Negara’.
Audio: Itu sastra klaisik yang luar biasa. Sampai sekarang cerita tiga negara bisa diterpakan dalam manajemen. Bgm kita me- manage orang. Orang khan sifatnya berlainan. Ada yang cocok sebagai pemimpin, itu diaruh di paling depan. Ada yang cocok sebagai pemegang buku, dia harus ditempatkan di tempat yang tepat.
Bahkan, para tokoh dalam buku cerita itu hingga kini dipuja banyak orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Audio: Di Sam Kok ada orang yang pinter namanya Kong Beng, terus ada jendral yang gagah namanya Kwang Kung, Cam Wei. Kwang Kung sampai dipuja. Di Hongkong, polisi itu mau selamat harus sembayang Kwang Kong. Soalnya tokoh tiga negara. Ada orangnya tapi karena orangnya royal pada atasan dan tidak meningalkan kawan saat bahaya, ia jadi panutan. Makanya polisi mesti punya sifat seperti Kwang Kung, membela keadilan, kebenaran, orang lemah…
Filosofi yang ada dalam buku-buku Tionghoa ini lantas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Chichi Bernardus. Tak hanya oleh dia dan suami, tapi juga oleh anaknya.
Audio: Ketika suatu saat dia dapat ulangan jelek dan dikata2in temennya, ketika ada orang sirik sama dia dan kadang-kadang down juga. Waktu dia lagi bete dan dia gak pede, saya akan bawa cerita ini. Kamu inget gak? Yoko suka diejek temen2nya. Tapi dia sifatnya seperti apa? Dia cuek aja ma. Dia hepi aja, kadang2 sedih, tapi dia berhasil belajar ilmu ini-itu..
Filosofi yang bertebaran di buku-buku dengan latar belakang Tionghoa biasanya menekankan pada perjalanan hidup yang penuh liku, serta pencarian keadilan dan rasa hormat kepada yang lebih tua, kata Nancy dan Hendrik Nangoi, pecinta cerita silat Tionghoa.
Audio: Orang tionghoa sejak kecil didik untuk hemat, rajin bekerja, berbakti pada orang tua. Umumnya dari keluarga tioghoa umur 3 tahun mulai dididik. Ada bukunya San Sei Ching, klo di translate ke bahasa Indonesia, itu pakai bahasa Hokian jadi San Tsi Keng.
Audio: Sedikit banyak oleh pengarang disisipi dengan filosofi Konfucianisme, trs terang saya tahu banyak dari cerita silat. Tentang berbakti, menjunjung kejujuran, persahabatan, bakti pada negara, justru dari cerita silat. Formal saya baca dari buku khusus tentang filosofi Cina, ternyata itu di cerita silat dibahas dengan cair, populer dan enak. Itu yang membuat kita tergila-gila.
Ini judul buku kesukaan Hendrik.
Audio: Saya sampai kini fanatic pada Triloginya Tjin Yung, mulai dari Siah Donyong, memanah burung rajawali, kedua, Sin Jau Yahhu, pasangan Rajawali sakti dan pendekar, ketiga kisah pembunuh Naga Idian Doiyong. Verita silat dari ratusan judul, saya suka triloginya dari Chin Yung. Karena pengarang yang terkenal bukan hanya Chin Yung, ada Liang Isyen, Ku Lung, Wang To Lu.
Audio: Musik Cina Saking cintanya dengan cerita-cerita dengan latar Tionghoa, Chichi Bernardus kerap menggambarkan dirinya sebagai salah satu tokoh di cerita yang ia baca.
Audio: Percaya gak, klo kita lagi ngumpul, kita punya julukan. Jadi kita identify iri kita dengan tokoh tertentu. Jadi ada role modelnya. Misalnya suami saya suka geer emnganggap dirinya Yoko dan saya Shioli-nya. Pada saat lain dia menjadi Hek Pek Moko, iblis hitam dan iblis putih bersama anggota yang lain Paulus. Paulus iytu putih, suami saya ambon. Jadi mereka menyebut sepasang iblis hitam putih.
Tak hanya cerita, puisi Tionghoa pun sarat filosofi hidup, seperti puisi soal kehidupan yang dibacakan Jeanne Laksana.
Audio: Jeanne membaca puisi dalam bahasa Mandarin Kopi Hitam. Tambah sedikit gula. Dicampur rasa. Kehidupan ini akan terasa manis….
[Anto Sidharta | KBR68H]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment