Hampir seperempat jumlah pekerja di Indonesia adalah pekerja informal. Mereka tak punya penghasilan tetap, apalagi pensiun untuk masa tua. Sekarang usia mereka mungkin masih produktif, tubuh sehat untuk bekerja siang malam. Tapi bagaimana kelak nasib mereka di masa tua? Reporter KBR68H Citra Prastuti dan Ziphora Robina dari Radio Internasional Jerman Deutsche Welle berbincang dengan Grup Dangdut Rembulan, sembari mencari tahu rencana besar pemerintah untuk mengurus lansia.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Audio: (Nama grupnya apa sih?) Rembulan Grup. (Sebagai penyanyi di kafe dapat penghasilan berapa, setiap bulan?) Kita nggak dihitung bulan, paling harian, saweran. Kita ngitung pendapatan dari saweran. Kalo lagi rame, ya rame. Kalo lagi sepi ya kadang sama sekali nggak dapet. Kalo lagi rame bisa di atas 40 ribu. Kadang 100. Kalo lagi sepi, kadang 5 ribu. Kadang sama sekali nggak dapat. (Dari kafenya sendiri?) Paling uang makan doang, buat transport.
Siang mengamen di jalanan, malam nyanyi di kafe dangdut Lone Star di Jakarta Pusat. Grup Rembulan terdiri dari Daru, Rena dan Edi, semuanya sudah berkeluarga. Rena dan Edi 26 tahun, sementara Daru 30-an tahun. Grup ini terbentuk sejak lebih lima tahun silam. Sebagai musisi kelas bawah, pendapatan mereka kecil, juga tak pasti.
Audio: Suasana ngamen: Lagu apa nih. Jreng jreng. Bagai disayat-sayat, sakitnya hati, betapa sakitnya hati.. Bagai diremas-remas, hancurnya jiwa, betapa hancurnya jiwa…
Audio: Suasana Jalan Wahid Hasyim
Audio: 70 persen pekerja di Indonesia adalah pekerja di sektor informal yang tidak punya penghasilan tetap dan tidak punya tabungan pensiun untuk masa tua. Mereka bisa bekerja di berbagai bidang, dari berjualan di pinggir jalan sampai menarik bajaj seperti yang dilakukan Pak Saim, laki-laki asal Tegal yang sudah menarik bajaj selama 10 tahun. Ia punya tanggungan keluarga dengan tiga anak, tapi sampai sekarnag ia tidak punya tabungan atau persiapan untuk masa tuanya.
Audio: (Sebulan bisa ngirim berapa?) Nggak tentu. Kadang 300, kadang bisa 400. Kadang kalo nggak ada, cukup untuk jajan anak, 100 ribu juga kirim. (Bisa nabung untuk hari tua?) Nggak bisa kayaknya. Belum bisa. Keadaannya begini. (Rencana hari tua?) Kemungkinan kalo udah begini paling pulang ke kampong. (Di kampung mau ngapain?) Mungkin kerja tani, gitu aja. (Nggak ada tabungan sama sekali?) Nggak ada.
Audio: Suasana bajaj
Audio: Suasana Edi bikin keset
Edi dulunya juga pekerja jalanan. Jadi pemulung, dengan pendapatan cuma sekitar 250 ribu per bulan. Tapi usia kepala 6 membuat Edi harus menyerah di tangan Satpol PP yang merazianya. Sejak lima bulan silam, ia jadi penghuni Panti Werdha milik Dinas Sosial Jakarta. Lokasinya di Marga Guna, Jakarta Selatan.
Audio: Ini lagi bikin keset, injekan, alas kaki. (Bahannya apa?) Dari kain katun. Macem-macem, ada yang kasar dan halus. (Setiap hari bikin keset ini?) Kalau ini sih iseng aja, jadi nggak rutin bener. Jadi kalau tempo hari kan saya masih belajar, jadi lamaa bikinnya. Seminggu baru dapat satu, sekarnag satu hari satu.
Audio: Suasana di panti werdha
Di panti ini, Edi tinggal bersama 150-an lansia lainnya di dalam 8 barak yang tersedia. Mayoritas penghuninya adalah perempuan. Alasan mereka masuk panti bermacam-macam. Ada yang kena garuk seperti Edi, ada juga yang secara sadar memilih masuk panti. Seperti Umi, Maria dan Bolot.
Audio: Ibu kenapa tinggal di panti? (terdiam) Terus terang saya karena nggak punya anak. Dan saya tidak ingin menyusahkan saya punya keluarga. (nangis).
Audio: Saya nggak punya orangtua, nggak punya suami, nggak punya anak. Daripada kita ikut keponakan gitu, atau temen-temen, ya saya udah deh mau pasrah aja tinggal di panti. Kalo di panti kan enak, banyak sodara.
Audio: Karena sudah nggak bisa kerja, keluarga nggak mau tau. Kita udah nggak kerja, daripada jadi beban, kita kan repot sendiri. Kaki udah nggak mampu untuk jalan, dan tangan kiri juga nggak bisa untuk kerja. Kita kan diurus di sini.
Audio: Suasana di panti werdha
Saat ini tercatat ada 19 juta lansia di seluruh tanah air. Hampir 3 juta lansia masuk kategori miskin dan terlantar. Ini baru data tahun 2004, lima tahun lalu, yang masuk dipakai Departemen Sosial. Sisanya, hanya 10 persen yang mengantongi pensiun untuk menopang hari tua mereka.
Audio: Atun nyanyi Mars Lansia
Atun, penghuni Panti Werdha di Marga Guna menyanyikan Mars Lansia.
Sekarang Indonesia masih terhitung sebagai negara muda, dengan jumlah penduduk usia muda yang lebih banyak. Tapi 15 tahun lagi, jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan bakal melonjak tinggi karena kualitas kesehatan membaik dan angka harapan hidup makin tinggi. Kelak, satu dari empat orang Indonesia adalah lansia.
Sekitar 70 persen pekerja usia produktif saat ini bergerak di sektor informal. Tanpa pemasukan pasti, tanpa pensiun, seperti apa masa tua mereka kelak?
Audio Mars Lansia: Badan sehat jiwa kuat, sambut masa yang kan datang. Mutu hidup pun meningkat, masa tua bahagia…
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen: (suara kendang) Untuk apa kebun yang indah… tanpa kemesraan bagaikan boneka…
Audio: (Dengan penghasilan segitu, cukup?) Kalo halal, ya cukup. (Dengan penghasilan sekarang, punya tabungan?) Belum, hehehe. Kadang dapat uang, habis. Kalo musim ujan nggak jalan. Kalo siang ujan, kan malam jadi sepi juga. Siang juga nggak jalan. Di rumah aja. Nggak ada usaha lain.
Rena, Daru dan Edi dari Grup Rembulan belum punya rencana apa-apa untuk masa depan mereka. Uang yang didapat hari ini terlalu sedikit untuk disimpan buat esok lusa. Apalagi untuk masa tua.
Kalau keuangan tak dijaga ketat, sangat mungkin mereka kelak masuk dalam kategori lansia miskin dan terlantar.
Audio: Sekarang kita mencari rumah lansia berikutnya yaitu Bapak Buang Hidup.
Di jalan ini ada sederetan rumah yang dindingnnya dari tripleks. Di sini tertulis RT 03 RW 011 Kelurahan Tegal Alur. Kami tengah mencari rumah Pak Buang, lansia yang akan kita kunjungi bersama relawan dari Yayasan Emong Lansia.
Ain dan Buang Hidup, pasangan lansia usia 80-an tahun ini, tinggal bersama anak cucu, di sepetak rumah ukuran 4x4 meter dengan dinding tripleks dan gedek. Rumah mereka persis di pinggir Kali Gang Manyar, Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, dekat Bandara Soekarno Hatta. Kali ini hitam pekat, penuh sampah. Satu-satunya penghasilan datang dari anak mereka, yang bekerja jadi buruh panggul.
Audio: Anak saya? Kalo lagi ada panggulan ya manggul. Kalo enggak ya ngerawat saya. Anak saya laki doang satu, ngikutin saya. (Penghasilan anak ibu?) Penghasilan ya.. manggul paling 20-50. Paling banyak dapet 50, kalo enggak paling 20. (Itu cukup?) Itu cukup nggak cukup dah. Abis pegimana, saya orang nggak punya, mau ke mana. Nggak ada yang dijual-jual. Cukup nggak cukup ya udah segitu saya.
Kedua lansia ini adalah bagian dari lansia yang didampingi lewat program home care atau perawatan lansia di rumah. Lansia tetap tinggal bersama keluarga, sekaligus mendapat bantuan dari para relawan pendamping yang tak digaji. Bantuannya bisa berupa sembako untuk sehari-hari, atau sekadar limpahan perhatian.
Audio: Maunya sih lebih sering, orang saya orang nggak punya. Dikasih lagi, saya kan girang bu. Kalo ada kunjungan kan enak. Orang kagak bisa nyari, diempanin. Yang ngempanin nggak ada.
Audio: Ini ada sedikit ya Bu. Tapi shalat jangan ditinggal. Cuma itu buat kita berangkat ke sana. Bapak salat nggak? Udah gini gimana bisa salat. Sambil duduk bisa Nek. Selonjor aja. Jangan ditinggal ya Nek salatnya. Nenek soalnya udah tua, nggak bawa bekal apa-apa. Yang kita bawa solat, amal ibadah kita. Kita pulang dulu ya.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia ada di belakang program home care di Kelurahan Tegal Alur, Jakarta Barat, salah satu daerah tertinggal di ibukota. Program pendampingan lansia di sana adalah proyek percontohan. Sekarang ada 6 kota di Indonesia yang menjalankan program serupa.
Audio: Tapi kan banyak lansia yang terlantar karena tidak ada yang bisa kasih perhatian. Dia di rumah tapi terlantar. Tapi yang di jalnaan kan tidak ada jalan lain kecuali memasukkan ke panti karena kan mereka butuh shelter. Masih banyak yang tinggal di rumah tapi miskin, anaknya juga miskin banyak yang nganggur, lalu gimana. Kami memang sudah ada sasarannya. Lansia yang tinggal sendiri, sakit-sakitan, bed ridden, dll. Ini sasaran dari home care.
Dari 19 juta lansia yang ada sekarang, 15 persen diantaranya hidup miskin dan terlantar. Hampir 3 juta lansia inilah yang jadi PR besar bagi Departemen Sosial. Mereka masuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, PMKS. Sialnya, dana mengurus lansia cekak, kata Sekjen Depsos Chazali Situmorang.
Audio: Wah kalo persen, nggak usah cerita lansia aja lah. Cerita Depsos dari 1030 triliun, anggaran yang diberikan hanya 3.4 triliun. Departemen ya. Jadi kalau ditukikkan lagi ke lansianya. Itu Cuma nol koma nol berapa persen itu. Jadi untuk cerita lansia, saya susah deh. Paling puluhan miliar lah. Jadi nggak usah presentase, karena digitnya nol koma nol.
Kalau dibandingkan 220 juta penduduk Indonesia, lansia yang 19 juta mungkin terlihat sedikit. Tapi percayalah, dengan kualitas kesehatan yang terus meningkat, jumlah lansia akan terus bertambah. Di sisi lain, kebanyakan pekerja muda sekarang adalah pekerja sektor informal yang pemasukannya pasang surut, tak terpikirkan untuk menyisihkan pensiun. Padahal, kata Eva, mereka juga sudah bekerja demi negara sehingga sudah selayaknya ikut dipikirkan oleh negara.
Audio: Lansia miskin itu 2.7. Yang tertangani dengan berbagai program, itu belum sampai 500 ribu. Dibandingkan 2.7, yang ditangani baru paling 300-an, itu kan kecil sekali. Dan bagiamana, kan tidak bisa semua masuk panti? Ada yang bisa di home care. Tidak semua bisa masuk home care. Lalu kenapa kita tidak punya jaminan hari tua. Kan mereka juga sudah bekerja untuk Negara. Kenapa tidak ada perhatian? Mereka dapat pensiun dari mana?
Sejak 2004, Indonesia sudah punya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Oktober tahun ini, mestinya aturan dalam UU tersebut sudah direalisasikan. Bagian kelima UU SJSN mengatur soal Jaminan Pensiun. Pesertanya adalah pekerja yang telah membayar iuran.
Karena ada iuran inilah, menurut Sekjen Depsos, yang juga anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional DJSN Chazali Situmorang, pemerintah memprioritaskan pemberian pensiun kepada pekerja di sektor formal.
Audio: Di dalam UU itu, hak pensiun masih diutamakan kepada yang bekerja. Jadi bekerja di sektor formal. Ya itulah, karena pemerintah kalau semua dibuka, semua dapat pensiun, nggak mampu juga kan anggarannya. Kan sudah diperhitungkan. Bagaimana suatu UU diterbitkan kalau tidak bisa dilaksanakan?
Artinya ada 70 persen pekerja sektor informal yang kelak terancam jadi lansia terlantar, kalau Negara tak menyiapkan skema pengaman hari tua. Sejauh ini, Depsos yang bertugas mengurus lansia mengandalkan pada program Jaminan Sosial Lanjut Usia, lewat pemberian uang 300 ribu per orang per bulan. Tapi lagi-lagi, semua tergantung anggaran Negara, kata Chazali Situmorang, Sekjen Depsos. Dan itu, cekak.
Audio: Ke depan kalau anggaran memungkinkan kita akan berupaya supaya yang dapat jaminan sosial lebih banyak lagi. Inilah tugas pemerintah. Kalau anggaran bertambah, atau CSR kita jalan, kita bisa dorong ini. Ini kan sangat efektif. Dengan memberikan bantuan lansia ini, segmennya jelas dan dia tidak jadi beban keluarga itu.
Audio: Suasana dalam omprengan
Farid yang supir omprengan, Leni yang penjaga toko telepon selular dan Sumpena yang pedagang asongan, tak berani merancang masa tua mereka kelak.
Audio: Persiapan untuk hari tua? Belum. Ya nggak butuh apa-apa. Yang penting kecukupan saja untuk anak sekolah. Buat masa tua belum kepikiran. Kalo ada modal, usaha, biar ada untuk masa tua. Saking gak ada modal, terpaksa gini, sampai tua pun jadi.
Audio: Untuk masa tua? Masih pingin kerja kalau bisa kerja. Sampai nggak bisa kali, sampai 35 tahun. Abis itu berhenti? Iya. Kalo udah berhenti kerja? Mau usaha di rumah.
Audio: (Penghasilan sebulan?) Nggak tentu. Kadang 30, kadang 25 ribu, sehari. (Persiapan buat hari tua?) Belum, baru ngumpul-ngumpul aja. Duit gitu. (Rencana hari tua?) Kalo udah punya duit mah diem aja di rumah.
Eva Sabdono dari Yayasan Emong Lansia tak banyak berharap pada UU Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan sistem dan pendataan lansia yang sulit diandalkan, bisa-bisa nasib lansia baru membaik setelah dua generasi. Karenanya, Eva lebih percaya kepada persiapan tiap orang untuk masa depannya masing-masing.
Audio: Masing-masing harus juga memikirkan. Jangan terlalu harpakan pemerintah yang akan memelihara kita. Kita sendiri juga harus bertanggung jawab. Sekarang 85 persen lansia oke, berarti kan mereka mempersiapkan diri. Tapi nanti kan berubah, kita gak mengharapkan apa-apa dari pemerintah. Jangan mengharapkan, Anda menjadi tua dan akan dibantu pemerintah. Jangan harapkan itu. Secara logika nggak mungkin.
Audio: Suasana Anto bikin rujak, Garam, sambel? Ini mangganya mangga rujak ya.
Sembari memotong mangga, semangka, jambu dan pepaya, serta menambahkan bumbu kacang, Anto bercerita soal persiapan hari tuanya. Pendapatan sebagai tukang rujak akan dipakai untuk pulang kampung dan nyawah, kata dia.
Audio: (Bapak dengan tiap hari bisa dapat 400 ribu, puyna tabungan?) Sedikit-sedikit ada sih. Ada lah. (Persiapan untuk hari tua?) Ada lah sedikit-sedikit. (Persiapannya apa saja?) Beli tanah, persiapan bikin rumah, beli sapi kambing. Tabungannya di situ doing. Kalo tabungan di bank, nggak ada. (Kalo udah tua, Bapak nggak punya penghasilan, nggak bisa dagang rujak lagi, gimana persiapannya?) Satu-satunya paling kalo udah mentok ya tani. Kan kita udah beli tanah. Kalo udah mentok, tenaga udah lemah, paling tani. Di rumah sambil dagang kecil-kecilan. Planning saya begitu doang.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Aku merasakan di malam pertama, begitu dingin, seakan tak punya cinta…
Sementara Rena, Daru dan Edi tak kuasa memikirkan bagaimana masa tua mereka kelak.
Audio: Suasana Grup Rembulan, (Nggak ada tabungan, kira-kira persiapannya gimana?) Nggak tau juga deh, belum mikir ke sono ya. Nggak ada pensiunannya di musik, nggak ada yang gaji. Ada yang gaji, tukang sate, hahaha.
Audio: Suasana Grup Rembulan ngamen, Jeraa.. bercintaaa.. Jeraaa.. jera jera jera jeraaa.. Jeraaa.. bercinta jera jera jera jera…
[Citra Prastuti KBR68H | Ziphora Robina DW]
No comments:
Post a Comment