Wednesday, April 27, 2011

Centeng Penagih Utang


Pernah didatangi debt collector atau penagih utang? Umumnya para penagih ini bertampang beringas, tubuh besar, dan bersuara keras. Ada banyak cara yang mereka lakukan demi menagih utang, dari sekadar mendatangi ke rumah sampai memberikan bogem mentah. Reporter KBR68H Quinawaty Pasaribu bertemu mereka yang pernah jadi korban debt collector dan mencari tahu mengapa bisnis ini tumbuh subur.









Centeng Penagih Utang by sagakbr68h



BLOK 1

Tiga tahun, Ahmad Taufik dikuntit seorang laki-laki. Sang penguntit menepuk keras pundaknya.

TAUFIK: Iya sampai ditepuk, saya kaget. ‘Mas ee bayar mas, Anda kan punya utang. Bayar lah, kalau punya utang bayar. Saya yang disuruh nagih Anda nih.’ Katanya. ‘Iya saya bayar tapi ada waktunya’. ‘Ya gak bisa, kalau anda gak bayar ya saya kejar sampe ke akhirat juga saya kejar.’ Dia bilang gitu.

Ini bukan kali pertama ia dikejar penagih tunggakan kartu kredit. Ia pernah didatangi di rumah, juga kantor. Sampai akhirnya ia membayar utang di pinggir jalan.

TAUFIK: Iya di tepi jalan sudah mendesak dan saya juga agak malu kalau di kantor rame-rame ketahuan punya utang. Kalau di jalan bisa disangka ngotot-ngototan hal yang biasa. Saya bayar di depan UI Salemba, saya ingat betul itu.

Ahmad Taufik punya 10 kartu kredit dari 6 bank berbeda. Setelah perkara dengan bank pertama kelar, muncul persoalan baru. Ia sempat hampir saban hari diteror penagih utang. Tak kenal waktu, para debt collector terus membuntuti.

TAUFIK: Kalau digedor-gedor iya, rumah saya di depok digedor-gedor. Waktu itu isya, kebetulan rumah saya di pojok juga.

KBR68H: Tiap hari mas?

TAUFIK: Gak tiap hari sih, tapi itu kan waktu banyak-banyaknya, lieur juga.

Ia sempat juga ditagih utang, yang menurut Taufik, mestinya tak sebesar itu.

TAUFIK: Terakhir itu BNI 46 kartu saya ilang. Pada saat saya terima surat 2006, tercantum 4 juta lebih, ketika ditagih 2011, 54 juta. Gila kan? Akhirnya saya datengin saya gak mau digituin kayak Citibank. Dia pernah dateng, ‘Anda punya utang ya?’ Di depan kantor tuh. ‘Anda bisa buktikan saya punya utang?’ Dia gak datang lagi lama tuh 2 tahun. Kemudian datang lagi, ‘Ya sudah saya selesaikan langsung’. Kita negosiasi cukup lama, ketemu di 4,5 juta. Saya cicil 4 bulan.

Edward Haloho juga pernah dipusingkan penagih utang. Pertengahan Desember 2010, ia disambangi 6 laki-laki yang mengaku suruhan dari perusahan peminjaman dana. Iparnya membeli mobil secara kredit, lewat perusahaan tersebut. Perusahaan minta supaya mobil diambil paksa karena menunggak cicilan. Karena mobil yang dicari tak ketemu, Edward, yang tengah bersama temannya, diangkut paksa, dibawa ke Tangerang untuk mencari mobil tersebut.

Tak berhasil menemukan mobil yang dicari, para penagih utang meminta supaya mobil yang tengah dikendarai Edward dijadikan jaminan. Edward menolak, karena itu adalah mobil kantornya.

EDWARD: Kurang lebih jam 3 subuh, nah dari pihak debt collector paksa harus ada jaminan. Dia maksa mobil dinas dari kerjaan saya sebagai jaminan. Dari pihak saya katakan, itu gak ada hubungannya dengan mobil yang Anda cari. Kalau itu mobil atas nama saya,harusnya dia tanya bersedia atau tidak. Tapi itu nama perusahaan kenapa main rampas kunci mobil.

KBR68H: Gak ada kompromi?

EDWARD: Gak, malam itu mereka ngotot harus ada jaminan. Sampai kerah baju teman saya dipegang mau ditonjok. Karena teman saya bersikeras mobil itu gak ada hubungannya dengan yang dicari. Setelah itu, ngotot gak mau kasih, langsung mau dikeroyok debt collector. Saya bilang, daripada mati konyol mending dikasih aja.’

EDWARD: Setelah kunci dikendalikan, kita dipaksa masuk mobil dinas. Tapi yang kendalikan debt collector. Nah kita dalam mobil diteror, intimidasi, diinterogasi.

KBR68H: Apa yang mereka bilang?

EDWARD: Kita mau dihabisi. ‘Kami habisi kalian semua malam ini’.

Para penagih utang tak juga menemukan mobil, sebagai gantinya, mereka minta uang kepada Edward. Tak ada. Debt collector makin beringas.

EDWARD: Sudah subuh, dipaksa dari saya, ‘Saya punya ATM sisa 2 juta kalau mau diambil, ambil aja 1,5 juta sisanya untuk akomodasi saya’. Dikawal ambil 1,5 juta diambil. Saya dipaksa. Setelah itu saya minta turun, ‘Gak usah naik aja’. Naik, saya diturunkan di pertigaan samping UKI. Saya turun dari mobil, saya gak kuat berdiri langsung jatuh.

Ketika kejadian ini diadukan kepada perusahaan peminjaman yang mengirim debt collector, justru damprat yang diterima Edward.

EDWARD: Kita datang malah gak ada pimpinan cabang, datang gerombolan debt collector 15 orang. Malah maki-maki kita sodara punya polisi. Dianjing-anjingin, babi-babiin persetan polisi, dari pada ribut mundur kita. Kita buat pengaduan resmi tanggal 18 Desember 2010 di Polda dengan pasal 365 dan 368, perampasan dan pemerasan

Tak dapat kejelasan di sini, Edward mengadukan kasusnya ke Kepolisian Jakarta. Pasalnya, perampasan dan pemerasan. Ia justru diminta polisi mencabut aduan.

EDWARD: Setelah kita adukan, nah ditunjuk dari pihak polisi namanya pak Manurung, malah kita disuruh cabut perkara. Kata dia, ‘Cabut dulu perkaranya biar fisik mobil Avanza dikasih tunjuk’. Lah kita yang pesakitan kok malah kita yang disuruh cabut perkara?

Siapa sebetulnya yang ada di belakang para penagih utang ini?

BLOK 2

Erik Telussa sedang menagih utang, untuk kliennya. Ia mendatangi perusahaan batu bara, yang punya utang 6 miliar rupiah. Erik hanya turun tangan langsung di kasus-kasus besar seperti ini.

Erik punya perusahaan jasa penagihan berusia 8 tahun, PT Bareta Indojasa. Ia mengaku tak pernah menggunakan kekerasan dalam menagih utang.

ERIK: Pertama baik-baik datang ketemu nasabah, ketuk pintu. Nanti berkembang, dia mau terima atau tidak. Kadang gak mau terima dengan banyak alasan. Kita buat supaya dia mau terima, kita datengin rame-rame, dia mau berangkat kita halangin, mau bicara supaya dapat solusi. Itu kita lakukan dia jadi risi. Dia mau bicara sama kita.

Erik punya 45 anak buah, tersebar di Jabodetabek. Ia punya standar sendiri dalam merekrut anak buah. Setiap anak buah bakal dibekali 3-4 tagihan utang.

ERIK: Syarat minimal itu pertama ijazah SMA, harus punya tempat tinggal jelas, ada KTP DKI, punya jaminan BPKP Motor atau ijazah. Itu aja. Setelah itu kita training, bagaimana cara menagih, pola kerja, membaca file kayak apa. Itu aja trainingnya.

Kata Erik, ada 85 perusahaan dan perorangan yang menggunakan jasa perusahaan penagihnya. Dua diantarnya adalah bank, milik swasta dan pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, ia mengaku tak pernah bersentuhan dengan polisi. Selain karena mengaku anti-kekerasan, ia juga kerap berkoordinasi dengan polisi.

ERIK: Jadi kita gak berbenturan dengan hukum. Kita berkoordinasi, tapi koordinasi buat kita harus serempet hukum. Kita kerjasama lapor polisi kerja di sini. Kita di polda, nanti polda kontak ke polres, polres ke polsek. Jadi tolonglah dibantu, nanti kita datang, nasabahnya gak, kita keras. Bahkan mungkin kontak fisik, tapi aman, karena dibak-up sama polisi. Serempet hukum, tapi karena sudah koordinasi aman aja.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala tak heran jika para penagih utang ini butuh bekingan dari polisi. Pasalnya kata dia, mereka sadar beberapa penunggak utang yang mereka tagih bukanlah orang biasa, tapi punya kekuasaan.

Adrianus mengambil contoh kasus pembunuhan debt collector Helmy Yohanes Manuputty, pertengahan April lalu. Ia diduga dianiaya beberapa oknum TNI. Sebelumnya Helmy menagih utang kepada anggota TNI berinisal R, karena sudah menunggak kredit mobil selama dua bulan. Rekan Helmy, Buce bercerita, esoknya temannya itu ‘diambil’ oleh 40-an oknum TNI dari kantornya, di sebuah perusahaan peminjaman uang.

ADRIANUS: Karena sebetulnya dia tidak perlu beking. Tapi dipihak lain kalau tidak ada beking, dia kurang pede. Dia belajar dari keadaan, banyak kreditur atau penunggak yang melengkapi diri dengan kekuasaan. Maka alhasil, mereka terpaksa melengkapi diri dengan mekanisme kekuatan juga. Debt collector punya beking, nasabah juga punya beking. Artinya dua-duanya sama-sama salah ini.

Kasus kematian Irzen Octa di tangan penagih utang, ikut membuka banyak pengaduan seputar beringasnya tindakan debt collector.

Ini cocok dengan temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI. Sepanjang 2010, pengaduan terbanyak datang dari jasa keuangan. Pengurus harian YLKI, Sudaryatmo.

SUDARYATMO: Kalau dari data pengaduan 2010, dari total pengaduan yang diterima 590 pengaduan itu 111 aduan, 18% jasa keuangan, ini urutan pertama, telekomunikasi, kemudian perumahan. Pengaduan konsumen keuangan, 70% pengaduan bank, sisanya leasing, dan asuransi. Dari bank itu hampir pengaduan tentang ulah debt collector.

Penagih utang atau debt collector banyak dipakai oleh pihak yang meminjamkan uang. Bisa bank, atau perusahaan peminjaman uang. Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional Perbanas mengakui, mereka masih menggunakan jasa penagih utang. Khusus untuk tagihan yang macet lebih 3 bulan, kata Ketua Perbanas, Sigit Pramono.

SIGIT: Itu tergantung penggolongannya, kalau sampai 3 bulan itu soft collection, caranya dengan kirim surat, SMS, telpon. Itu soft collector, kalau mulai susah tagihan, didatangi susah, bank gak akan melakukan itu. Kita punya urusan lain untuk rate yang lancar bukan hanya yang bermasalah.

Bagi YLKI, langkah bank melemparkan tugas penagihan ke pihak ketiga, tetap tak tepat. Penagihan, kata Sudaryatmo, adalah salah satu kegiatan utama perusahaan. UU Ketenagakerjaan menyebutkan, tak boleh ada outsourcing, atau mencari tenaga kerja dari pihak lain, dalam menjalankan usaha.

SUDARYATMO: Bisnis kartu kredit diatur dalam peraturan BI tentang alat pembayaran. Dimungkinkan adanya penggunakan pihak ke-tiga. Dalam UU Tenaga Kerja, yang boleh dioutsourching bukan kegiatan utama dalam usaha. Jadi kalau perbankan, penagihan itu tugas pokok tidak boleh dioutsourching, aturan BI membuka ruang debt collector. Nasabah masuk kategori non-cooperatif. Penagihan gak boleh melanggar etika.

Apalagi para penagih utang ini tak punya standar kompetensi tertentu. Sebagian besar hanya mengandalkan penampilan fisik: wajah beringas, tubuh besar.

SUDARYATMO: Ya memang kalau penagihan itu dikembalikan ke perbankan, dia kan punya standar kompetensi apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh. Begitu diserahkan pihak ketiga, apakah debt collector punya standar kompetensi? Kalau ada, siapa yang beri standar? Ini yang menjadikan pihak ketiga menggunakan cara kekerasan, karena memang gak ada standarnya.

Meski masih menggunakan jasa penagih utang, Perbanas memastikan perusahaan bakal memutus kontrak dengan debt collector kalau ketahuan menagih dengan cara kontak fisik. Bank Indonesia juga sudah mengambil pelajaran dari kasus tewasnya Irzen Octa di tangan debt collector atau jasa penagih. Misalnya dengan memperketat aturan dalam penerbitan kartu kredit, serta mengusulkan dibuatnya undang-undang tentang penagihan

Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan, jasa debt collector tumbuh subur karena sistem peradilan yang ada terlalu berbelit-belit.

SIGIT: Akar persoalannya adalah, eksekusi jaminan pada orang utang-piutang dengan UU Perdata itu proses lama, mahal, berbelit-belit. Sehingga kalau ada kredit macet, itu biasanya lebih dari 3 bulan mereka gak mampu lakukan sendiri. Jadi sebetulnya kalau mengeksekusi jaminan kredit itu mudah, jasa debt collector gak akan tumbuh.

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala sepakat. Menggunakan jasa debt collector dirasa banyak perusahaan lebih ringkas dan efisien, ketimbang berbelit-belit di pengadilan; yang juga bisa makan banyak uang.

ADRIANUS: Cara berpikir lebih efisiensi. Memang pakai debt collector, misalnya kalau saya bukan bank kalau punya utang maka dari pada nagih lewat penagdilan gak jelas kapan sidangnya, berapa lama prosesnya, maka saya lebih pakai debt collector.Jadi lelet sekali, kalau warga negara kalau berpekara di luar pengadilan. Kalau di pengadilan, capek, gak pasti, lama, mahal. sehingga wajar bank kalau memilih mekanisme debt collector.

Adrianus menduga, jasa penagih ini bakal masih terus dipakai, karena penagihan lewat surat, biasanya tak mendapat respons. Kata dia, debt collector semestinya dibekali pengetahuan hukum ketika menagih.

ADRIANUS: Minimal tahu hukum, jadi praktik di luar negeri maka sewaktu-waktu turun tangan mengancam, cukup kasih sinyalemen ke penunggak bawah kalau tidak bayar utang maka akan dapat sanksi 1,2,3. Nah mencatumkan sanksi 1,2,3 butuh pengetahuan kan? Bahwa akan dibuat perdata atau pidana, itu kan butuh pengetahun. Nah ke depan, debt collector akan bernuansa knowledge ketimbang power.

Yang juga mesti mengerem diri adalah konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI, meminta masyarakat lebih cermat menghitung kemampuan diri untuk berhutang. Termasuk, dalam menggunakan kartu kredit.

SUDARYATMO: Kartu kredit itu mestinya bukan untuk belanja kebutuhan pokok.Tapi belanja kebutuhan sekunder. Dalam melakukan pembayaran konsumen bayar lunas jangan dicicil. Nah ini data kita dapatkan perilaku pengguna kartu kredit di Singapura bayar lunas. Nah di indonesia, sebaliknya, 70 % pengguna kartu kredit bayar nyicil. Kan gak akan pernah lunas.

Sadar kalau kartu kredit hanya menyusahkan dirinya, Ahmad Taufik pun mengurangi kartu kreditnya dari 10 menjadi 2 saja.

TAUFIK: Tapi alhamdulilah saya memotong 8 kartu itu.

KBR68H: Itu karena kapok?

TAUFIK: Saya punya kesadaran ini mah besar pasak dari pada tiang.


Demikian Saga yang disusun Reporter KBR68H Quinawaty Pasaribu.

No comments:

Post a Comment