Thursday, May 12, 2011

Ilusi Negara Islam Indonesia

Bagi sebagian orang, membentuk negara Islam adalah tujuan mulia. Tujuan ini dibungkus dengan semangat perjuangan, yang lantas membutuhkan sejumlah uang. Ribuan orang yang jadi korban NII diharuskan menyetor sejumlah uang dengan cara apa pun. Reporter KBR68H Rio Rizalino bertemu dengan para korban Negara Islam Indonesia yang sempat terjerat bayang-bayang Negara Islam Indonesia.

Audio Saga bisa disimak di sini.

BLOK 1

ATMOS tempat belanja

Di sebuah tempat perbelanjaan di Jakarta Selatan, Siti Komariyah bercerita soal anaknya yang hilang.

SITI: Sudah dua bulan lalu nggak tahu ke mana. Saya telepon nggak diangkat. Kalau diangkat ngomongnya kadang kasar. Saya sudah coba ke orang pintar tapi nggak bisa juga.

Sudah dua bulan ini anaknya tak pulang ke rumah. Ia mulai curiga ketika anaknya berubah kasar dan sering minta uang.

SITI : Tahun 2011 inilah bulan Februari mulai otaknya nggak beres. Sama ibu saja ngomongnya, “Brengsek kapan pulang,”

Karena belakangan banyak cerita soal anak menghilang karena terjerat NII, ia menduga anaknya juga begitu. Sebelum menghilang, putrinya kerap menyebut nama pesantren Al-Zaytun di Indramayu Jawa Barat. Pesantren ini adalah tempat yang diduga sebagai markas NII.

SITI : Dia bilang pernah ke Al Zaytun tiga kali.

SUKANTO : Kapan ke sananya, Bu?

SITI : Bulannya saya lupa, yang pasti tahun lalu. Saya kan nggak tahu kalau Al Zaytun itu ada hubungannya dengan NII

Ia lantas menemui NII Crisis Center. Lembaga ini adalah tempat rehabilitasi korban NII yang dibuat oleh sejumlah bekas anggota NII. Siti membawa foto anaknya sembari bercerita kalau suami anaknya tak tahu menahu soal ini. Rasa cemas terlihat jelas dari raut wajahnya yang renta.

SUKANTO : Mungkin nggak ini adalah masalah keluarga?

SITI : Nggak mas, dia itu cinta banget sama suaminya.

Menurut Sukanto, ada indikasi kuat, putri Siti Komariyah jadi korban NII.

SUKANTO : Sesuai cerita ibunya, anaknya yang tadinya baik tiba-tiba jahat. Terus anaknya juga suka cerita soal Al Zaytun, bilang ada negara dalam negara Indonesia. Indikasinya kuat kalau anaknya kena NII. Tapi itu nanti akan kita telusuri lagi lebih lanjut.

ATMOS di tempat perbelanjaan

Pertemuan siang itu diadakan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Sengaja, kata Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Center, Sukanto.

SUKANTO : Kita fokuskan di luar, tidak di kantor. Dulu kita pernah bikin kantor di Mesjid Al Ihsan di Pasar Rumput. Terlalu banyak yang mengintai. Kedua, orangtua korban juga tidak nyaman, ketakutan sendiri. Itu juga bisa membocorkan upaya-upaya yang akan kita lakukan.

Ini adalah tahap pertama dari proses rehabilitasi korban NII. Sejak 2001, NII Crisis Center sudah menerima ribuan laporan soal korban NII. 300-an diantaranya sudah menjalani rehabilitasi di sini. Setelah dipastikan korban benar-benar terjerat NII, maka akan diambil langkah berikutnya: isolasi. Tujuannya untuk memutus semua jalur komunikasi antara korban dan NII.

SUKANTO: Setelah disolasi, proses dialog, interogasi atau proses pemanusiaan kembali dimulai. Dengan pemutusan komunikasi, otomatis doktrin terputus, instruksi terputus. Proses ini dilakukan sampai ada kejujuran dari si korban.

Di daerah Jakarta Selatan, ada Syahrul, yang pernah bergabung dengan NII selama tiga bulan pada 2004 lalu.

KBR68H : Assalammualaikum..

SYAHRUL : Walaikumsalam.. Mas Rio yah?

Kata Syahrul, tiga bulan bersama NII adalah tiga bulan terkelam dalam hidupnya. Saat itu ia masih kuliah di Universitas Gunadarma Depok, Jawa Barat, pada 2004. Kenal NII dari sesama teman kuliah, lewat diskusi kecil soal agama.

SYAHRUL : Antusias saya juga ada. Selama tiga hari berdiskusi, teman saya selalu tanya, bagaimana soal Negara Islam? Sepertinya dia coba tarik saya supaya pikiran saya ikut seperti dia. Saya bilang bagus. Di sana mungkin dia liat saya udah semakin tertarik.

Tak sampai satu minggu, Syahrul memutuskan bergabung dengan NII. Ia diminta membayar satu juta rupiah. Katanya untuk membersihkan diri dari segala dosa.

SYAHRUL: Selama tinggal di NKRI, sudah banyakkah dosa yang kita buat? Kata dia, ibarat mandi dengan badan yang kotor, berapa banyak gayung air yang dibutuhkan untuk membersihkan badan kita. Dan banyaknya gayung itulah yang diibaratkan dengan uang.

Ada juga Dina Novita, mahasiswa tingkat akhir Institut Kesenian Jakarta. Dina berkenalan dengan NII pada 2007, ketika baru masuk kuliah. Dina juga dipikat lewat diskusi soal agama.

DINA: Jadi dia ngeluarin kertas, terus bikin segitiga dan di tiap sudutnya ditulis manusia, Allah dan alam. Dia menjelaskan hubungan antara ketiganya. Dia juga cerita soal pergerakan Islam.

Dina yang mengaku kurang mendalami agama, merasa penasaran. Karenanya, ia bergabung.

Proses selanjutnya, diambil sumpah atau dibaiat sebagai anggota NII.

SYAHRUL : Saya dijemput pakai mobil. Diperjalanan saya disuruh pejamkan mata dan baca bismillah.

DINA : Setelah sampai, masuk garasi saya baru boleh buka mata. Setelah itu saya ibaratnya di screening lagi. Ditanya-tanya lagi apa sudah yakin mau hijrah ke NII. Setelah semuanya selesai dan sudah dipastikan mau pindah, baru kita dibaiat.

Pindah, maksudnya adalah pindah dari negara Indonesia ke Negara Islam Indonesia.

Di dalam rumah, puluhan anggota NII sudah menunggu dalam satu ruangan seperti aula. Selain Dina, ada belasan orang yang juga akan dibaiat, laki-laki dan perempuan.

DINA: Semua pakaiannya hitam putih. Terus disuruh berdiri dan ngucap baiatnya.

KBR68H: Baiatnya seperti apa?

Dina: Saya lupa. Tapi depannya Allahumma gitu deh. Pas sudah selesai mengucapkan baiat, mereka bilang, “Alhamdulillah, selamat kalian sudah bergabung dengan Negara Islam Indonesia. Semoga Islam bisa bediri di negara Indonesia dan bisa mengalahkan NKRI.”

Sebagai warga negara NII, mereka dijanjikan surga. Doktrin NII menyebutkan, Islam yang benar adalah Islam versi NII. Karenanya negara Islam mesti ditegakkan, kalau mau masuk surga.

Setelah resmi menjadi warga NII, Syahrul dan Dina menjalankan aktifitasnya di sebuah rumah lain yang disebut sebagai ‘desa’. Inilah satuan terkecil pemerintahan versi NII. Masing-masing ‘desa’ punya pemimpin atau kepala desa.

Di Jakarta ada puluhan ‘desa’ NII. ‘Desa’ Syahrul ada di bilangan Cilandak, sementara ‘desa’ Dina di wilayah Condet. Di sinilah mereka bergaul dan saling berinteraksi, juga belajar soal konsep negara Islam Indonesia, kata Syahrul.

SYAHRUL: Di sana saya dikasih tau kalau NKRI itu bukan negara yang sesungguhnya dibandingkan dengan NII. Materi detilnya saya sudah lupa. Yang pasti, doktrinnya NII itu sudah ada dan itu yang benar. Pemerintahannya juga sudah terbentuk mulai dari desa, lurah, kecamatan sampai presiden. Layaknya negara saja.

Sebagai warga negara NII, mereka wajib memberikan uang. Besarnya sesuai kemampuan tiap orang, disetor tiap hari. Syahrul mesti membayar Rp 150 ribu per hari. Ia kelimpungan, karena saat itu masih kuliah, belum kerja. Seniornya di NII menganjurkan Syahrul untuk berbohong.

SYAHRUL : Ibaratnya untuk cari rezeki itu banyak caranya. Silahkan gunakan cara apa saja. Istilahnya selain NII itu kan kafir. Nah, orang kafir itu halal uangnya. Pakai teknis apa pun terserah. Mau berbohong, mencuri silahkan.

Sementara Dina wajib bayar Rp 50 ribu per hari. Sebagai mahasiswa baru, uang itu terasa besar. Ia selalu menghindar ketika dimintai uang. Tapi selalu ada saja akal anggota NII agar mendapatkan uang dari Dina.

DINA : Mereka bilang, gimana uangnya? Saya bilang belum ada. Terus mereka bilang, bilang saja sama orang tua kamu kalau kamu ngerusakin kamera temen trus disuruh ganti. Aku nggak mungkin ngebohongin orang tua. Tapi nggak taunya mereka datang ke rumah saya dan ngomong sendiri kalau saya ngerusakin kamera temen dan harus diganti.

Tekanan dari NII untuk menyetor uang memberikan tekanan psikis dan mental. Tak hanya bagi korban, tapi juga keluarga mereka. Bagaimana cara keluar dan menghindari jeratan NII?

BLOK II

Siti Aisyah, ibunda Syahrul, curiga ada yang tak beres pada anaknya.

AISYAH : Ada temennya datang ke saya nagih hutang. Katanya Syahrul pinjem uang sama dia karena bapaknya gagal ginjal, padahal ayahnya nggak apa-apa. Saya tanya kenapa kamu sampai begitu, dia diam aja. Saya sampai marah-marah, dia tetap diam saja.

Lantas keluarga mendapat telfon dari orang tak dikenal. Mengaku sebagai teman Syahrul.

AISYAH : Saya lagi panik-paniknya, ada teman Syahrul yang telepon. Dia bilang, ibu tenang yah. Saya tau anak ibu masuk jadi anggota NII. Cepet deh bu, mumpung Syahrul belum lama di NII. Saya langsung bikin rapat keluarga sama bapaknya, gimana ini?

Saat itu, mereka tak punya informasi apa pun soal NII.

AISYAH : Saya bilang ini dari siapa, dia bilang ibu nggak usah tahu nama saya siapa, yang penting bawa anak ibu ke sana secepatnya. Sampai sekarang saya juga belum tau siapa yang nelepon. Dia bilang tempatnya ada di Pasar Rumput.

Tempat yang dimaksud adalah Masjid Al Ihsan, tempat rehabilitasi korban NII. Keluarga membawa Syahrul ke sana, bertemu dengan Umar Abduh, bekas anggota NII, cerita Syahrul.

SYAHRUL : Saya sebelumnya nggak tahu kalau mau disadarkan kembali. Sampai di sana keluar Pak Umar. Dia bilang betul kamu masuk NII? Saya bilang nggak. Gimanapun juga saya harus merahasiakan keberadaan NII.

Hanya butuh sehari, Syahrul pun mengaku.

Akhirnya keluar temen saya yang nelepon ibu saya. Ternyata dia juga NII tapi sudah insaf. Dia bilang, ‘Sudah Rul, ngaku saja. Kita emang pernah di jalan yang salah. Tapi kita masih bisa kembali bener kok,’

Aisyah menitikkan air mata saat bercerita soal kepulangan Syahrul ke rumah.

AISYAH : Malem-malem jam 10 saya dapat telepon dari sana, dibilang anak ibu sudah ngaku silahkan kalau mau dibawa pulang. Saya langsung ke sana, saya jemput. Pulang ke rumah, dia langsung peluk saya, minta maaf sama saya, karena dulu dia pernah maki-maki saya. Dia baru nyadar katanya.

Setelah itu Syahrul mengikuti proses rehabilitasi. Ia menghabiskan waktunya dengan berbagai kegiatan keagamaan. Selama dua bulan, ia kembali belajar soal agama. Ia sempat kembali didatangi anggota NII sampai ke rumah.

SYAHRUL: Temen-temen kuliah saya yang NII sudah sinis ngeliat saya. Apalagi temen kos saya yang bawa saya ke NII sekelas dengan saya. Pas ketemu selesai kuliah, dia bilang kamu bakal mati. Setelah negara Islam ini terbentuk, kamu adalah yang pertama kali kami cari dan bunuh. Karena kamu adalah ancaman untuk kami.

Akibat tekanan yang terus menerus, Syahrul harus merelakan kuliahnya putus ditengah jalan. Padahal saat itu ia sudah berada di tingkat akhir, tinggal membuat skripsi.

SYAHRUL : Hampir setiap hari ada ancaman, baik dari temen kampus atau temen NII yang lainnya. Ancamannya kalau tidak mati, dibunuh. Orang tua saya juga diancam mau dibunuh. Karena semakin banyak ancaman, ya sudah lah saya putuskan untuk berhenti kuliah. Dengan begitu, saya akan benar-benar terputus dengan mereka.

Dina memutuskan hubungan dengan NII karena curiga. Di bulan keempat ia bergabung, Dina justru dianjurkan tidak beribadah.

DINA: Waktu sama mereka, saya ajak sholat. Mereka bilang nggak usah karena kita sedang berjuang mendirikan negara Islam, sedang jihad. Dalam hati saya bertanya, berjuang apa? Kok kita malah begini?

Dina mulai menjauhkan diri dari NII. Tapi dengan berbagai cara, teman-temannya di NII selalu membujuknya untuk kembali.

DINA: Pernah satu pagi jam setengah enam mereka telepon aku, nggak aku angkat. Ditelponin terus, akhirnya saya angkat dan mereka ngajak lari pagi. Saya bilang nggak mau, tapi mereka bilang, nih saya udah di depan rumah kamu. Dan bener mereka sudah di depan rumah aku lengkap dengan kostum lari pagi.

Dina akhirnya berhasil mengelabui teman-teman NII dengan mengaku telah tinggal dengan saudaranya yang anggota Polisi. Manjur. NII paling anti dengan aparat keamanan seperti polisi dan TNI, kata Dina.

DINA : Aku ingat ketika masuk salah satu syaratnya adalah tidak boleh punya keluarga polisi. Mereka kayaknya takut banget dengan polisi. Meskipun ngga punya sodara polisi, aku bilang ke mamaku, kalau ada yang nyariin bilang aja aku sudah pindah ke rumah sodara yang polisi. Terus anak-anak NII itu terus nanyain, apa bener aku punya sodara polisi. Mama bilang ke mereka iya. Sejak itu lama-lama mereka udah nggak hubungin saya lagi.

Dengan cara yang berbeda, Syahrul dan Dina berhasil keluar dari jerat NII. Syahrul, juga 300-an orang lainnya, dipulihkan lewat pusat rehabilitasi NII Crisis Center. Ketua Tim Rehabilitasi Sukanto mengatakan, kebanyakan korban NII adalah mahasiswa dan buruh.

SUKANTO : Perekrutan NII KW9 ini fokusnya pada anak-anak muda, usia setelah SMA dan mahasiswa, yang rata-rata tidak memiliki latar keagamaan yang baik. Tapi secara ekonomi mereka mampu. Sementara kalau dari kalangan buruh, umumnya mereka datang dari daerah ke Jakarta untuk mencari uang. Lalu mereka dirangkul dan diberikan pekerjaan oleh NII. Setelah itu mereka dimobilisasi untuk pencarian dana.

Tak mudah untuk mencerahkan lagi pikiran orang yang sudah kena doktrin NII. Kalau perlu, berdebat panjang soal doktrin negara Islam versi NII, kata Sukanto.

SUKANTO : Ini permasalahan ideologi, dimana itu menjadi hak dasar manusia. Itu saja sudah sulit. Apalagi kalau yang mau kita sadarkan itu orang yang sudah berumur, yang sudah menjadikan ideology itu sebagai pilihan hidupnya. Karena untuk mengubah ideologi kita harus melewati perdebatan yang panjang, menguras tenaga dan pikiran.

Asal muasal NII bermula pada 1949, ketika Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia. NII yang sekarang dikenal dengan NII Komandemen Wilayah 9 atau NII KW9 yang dipimpin oleh Panji Gumilang atau Abu Toto. NII KW9 diduga dibentuk oleh pemerintah karena gerakannya sudah bergeser dari tujuan semula, kata Al Chaidar, pengamat terorisme yang juga bekas anggota NII.

AL CHAIDAR : Yang lebih radikal adalah NII yang asli. Kalau NIIKW9 atau NII palsu gerakannya hanya mengumpulkan dana saja.

KBR68H : Uangnya lantas untuk apa?

AL CHAIDAR : 90 persen uangnya untuk oknum-oknum jenderal. Sisanya diberikan ke pesantren Al Zaytun

Lantas, bagaimana cara menghindari organisasi ini? Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Center Sukanto berbagi tips.

SUKANTO : Harus kritis yah. Menerima sesuatu itu harus dipikirkan ulang. Ini harusnya ditingkatkan rasa rasionalitasnya. Karena Islam mengajarkan harus rasional. Jangan belajar di satu guru. Kalau terima informasi coba tanya ke yang lain. Jangan dapat informasi langsung diyakini, dan dilaksanakan tanpa berpikir.

Dina Novita punya tips sendiri.

DINA : Kalau ada yang ngajak ngobrol, diajak ke restoran dan mengeluarkan kertas terus menggambar segitiga dengan tulisan Allah, manusia dan alam, itu harus waspada. Jangan diikuti lebih lanjut kalau kita tidak mau terjerumus.

Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H, Rio Rizalino.

No comments:

Post a Comment