Yang punya wayang golek tak hanya masyarat Sunda, tapi juga Betawi. Tizar Purbaya adalah orang yang getol memperkenalkan, sekaligus melestarikan, kebudayaan ini. Dari segi bentuk, wayang golek Betai tak jauh beda dengan wayang golek Sunda. Keistimewaannya adalah dari sisi cerita dan tokoh, yang dibawakan ala lenong Betawi. Reporter KBR68H Dimas Rizky menemui Tizar yang sedang menyiapkan pentas terbaru wayang golek lenong Betawi.
Audio Saga bisa didengarkan di sini.
BLOK I
Cerita ‘Beningnya Hati Seekor Macan’ tengah disiapkan Tizar Purbaya untuk pertunjukan di Museum Fatahillah, Juni mendatang. Inspirasinya datang dari banyaknya kasus penebangan hutan secara ilegal.
TIZAR: “Di mana macan masuk kampung makanin ternak, segala macam, macan itu disalahin padahal macan itu tidak salah karena habitatnya yang dirusak manusia. Begitu ada macan masuk kampung, orang-orang yang berburu macan datang. Mau ambil kulit, taring dan lainnya. – fade under
Karena cerita ini disiapkan untuk pentas wayang golek lenong Betawi, Tizar punya beberapa persiapan. Salah satunya adalah memodifikasi bentuk wayang golek, sehingga alis, mata dan mulut bisa bergerak.
TIZAR: “ Tembakan, merokok, itu sudah ada. Teknik-teknik macam begitu cuma ada di wayang golek lenong Betawi. Karena kita lihat kebutuhan ceritanya. Ada cerita mandor Jun yang tangannya sempat buntung dalam perkelahian. Makanya kita bikin bagaimana tangan itu bisa lepas dan keluar darah.”
Semula Tizar adalah dalang wayang golek Sunda. Berhubung Tizar adalah keturunan Betawi, ia pun mulai memasukkan cerita dan tokoh ala cerita rakyat Betawi dan memadukannya dengan wayang golek ini. Pakem wayang golek Sunda pun banyak yang ditinggalkan, kata asisten Tizar, sekaligus anaknya, Ricky Purbaya.
RICKY: “Kalau Sunda suluknya pakai lagu semua. Bahasanya bahasa Sunda dulu. Makanya saya di wayang golek lenong ini bikinnya yang saya bisa. Tidak ada kakawin. Adanya pantun. Kalau mau berantem gaya lenong. Makanya ini wayang golek lenong Betawi. Karena adaptasinya dari lenong. Nah uda itu tidak ada kakawin, suluk. Jadi semau gue.”
Karena ini adalah perkawinan antara wayang golek Sunda dengan cerita dan gaya bertutur ala Betawi, Tizar menyebut percampuran ini sebagai wayang golek lenong Betawi. Untuk memperkuat unsur lokal, Tizar selalu menggunakan lagu asli Betawi. Misalnya lagu ‘Jali-jali’ untuk adegan perang.
ATMOS: “Ini dia si jali-jali. Lagunya enak, lagunya enak merdu sekali. Capek sedikit tidak perduli sayang. Asalkan tuan, asalkan tuan senang di hati…
Salah satu pemain alat musik tradisional Betawi, Sanan, mengatakan, lagu yang dimainkan hanya lagu tradisional.
SANAN: “Kalau diterapkan lagu-lagu sekarang tidak bisa. Karena bukan jalurnya, bukan alirannya. Unsur Betawinya juga hilang. Karena itu diterapkan dalam musik gambang kromong. Gambang kromong kan musik Betawi. Kalau diterapkan musik sekarang sepertinya tidak kena.”
Yang paling unik dari wayang golek ciptaan Tizar adalah kemampuan boneka-boneka wayang itu menampilkan adegan yang tak ada di wayang lain. Misalnya, alis dan bibir yang bisa digerakkan.
Salah satu karyawan Tizar, Ujang Yakub memperlihatkan kayu yang biasa dipakai untuk membuat wayang golek Betawi ini. Mereka biasanya menggunakan kayu albasia atau sengon, yang mudah diukir. Untuk mengerjakan wayang golek bentuk tokoh Si Pitung, Ujang membutuhkan waktu 3 hari.
UJANG: “Ya tekniknya kita harus belah dulu, kita bolongin dalamnya, kita buang isinya. Dikopongin dulu dalamnya lalu kita pasang-pasang untuk bahan teknik. Baru kita bikin posisinya. Misalnya mata sama alis gerak. Ada juga bibir sama mata. Ada juga bibir sama kuping. Bikin dua hari, satu hari teknik. Jadi tiga harilah.”
Tizar tak hanya membawakan cerita-cerita khas Betawi dalam berbagai pentasnya. Ia juga kerap mengolah peristiwa aktual menjadi pertunjukan yang menarik. Anak Tizar, Ricky Purbaya, menirukan salah satu pentas wayang golek lenong Betawi ayahnya, yang membawakan cerita soal Nurdin Halid yang berkeras menolak mundur sebagai Ketua Umum PSSI.
RICKY: “Dasar kau Nurdin racun. Ude ditolak ga mau mundur. Kau bukan orang yang santun. Disuru turun ko ngelantur. Banyak orang berdemoyang mendukungmu untuk mundur. Hey, jangan basa-basi cuma bikin keki, kamu kaya banci. Hey, cuma kamu ketum PSSI yang bekas mantan napi..” àfade under.
Sudah 10 tahun Tizar bergelut di bidang wayang golek lenong Betawi. Dari mana Tizar datang dengan ide membuat wayang ini?
BLOK 2
Tizar Purbaya sebetulnya adalah pedagang barang-barang antik, punya toko di Jalan Surabaya, Jakarta. Ini tempat yang ramai didatangi pengunjung yang ingin mencari pernak-pernik kuno, termasuk turis asing. Pada 1998, Tizar kedatangan dua turis yang memesan wayang golek. Dipesan khusus, sesuai wajah si pemesan. Tapi karena keburu ada kerusuhan Mei 1998, pesanan tak diambil.
TIZAR : “Idenya dapat tahun 98 habis kerusuhan. Waktu kerusuhan itu masih ada pesanan orang barat yang buat wayang golek potret dari muka dia. Terus tidak diambil. Saya bingung buat apa ini wayang tidak diambil, wayang muka bule begini. Tiba-tiba ada ide, kenapa tidak saya bikin aja ini wayang Betawi jadi kompeni dan segala macam. Bukankah saya ingin buat sesuatu untuk Betawi?”
Hasilnya adalah wayang golek Betawi. Ini tak sekadar perpaduan antara wayang golek Sunda dengan cerita dan cara bertutur khas Betawi. Tapi ada juga unsur dari Jepang terselip di sana, kata Tizar.
TIZAR : “Kebetulan saya lihat di Jepang. Di bonraku wayang bisa bergerak alisnya, mulutnya bisa bergerak. Lalu saya pernah diundang masuk ke studionya, lihat proses pembuatannya. Wayang bonraku itu ternyata harus dibelah dulu kemudian harus dikosongkan dalamnya, baru dibikin apa yang mau dibuat. Misalnya matanya mau melotot keluar atau berkedip itu dibuat lantas dipasang.”
Inilah yang membuat wayang golek Betawi ciptaan Tizar menjadi unik. Alis dan wajah si wayang bisa bergerak, wayang pun bisa melakukan adegan-adegan yang tak biasa dilakukan oleh wayang jenis lain.
Reporter KBR68H Dimas Rizky sempat juga mencoba memainkan salah satu wayang dalam lakon Si Pitung.
KBR68H: “Saudara, dari sekitar 60-an wayang golek Betawi, saat ini sedang memainkan satu tokoh dalam cerita Si Pitung. Tokoh ini digambarkan sebagai seorang prajurit Belanda yang berusaha menangkap Pitung. Ketika perkelahian terjadi, prajurit Belanda ini terkena bacokan golok Pitung. Ketika tali dekat pegangan wayang saya tarik, Seeep..bacokan golok itu muncul di atas kepala wayang.”
Kini, wayang golek ciptaan Tizar ada yang bisa merokok, menangis, atau tangannya menjadi buntung, sesuai adegan yang tengah dimainkan.
Ricky Purbaya, anak Tizar, masih ingat reaksi penonton ketika wayang golek lenong Betawi pertama kali pentas pada 2001 silam.
RICKY: “Di Setu Babakan. Itu pertama kali pentas. Orang pada bingung itu kesenian apaan. Uda tonton aja saya bilang. Ceritanya tentang Si Manis Jembatan Ancol. Itu tempat ramai. Penuh. Padahal terpencil. Pas mau habis, hujan gede. Waduh bubar nih. Udah kita habisin aja. Lalu lenong main, mpok Nori. Pas saya keluar, ternyata mereka ada yang pakai daun pisang, plastik, ditutupin tangan..pada nggak bubar. Mereka hujan-hujanan nontonnya.”
Kini usia wayang golek lenong Betawi sudah 10 tahun. Masih muda untuk usia sebuah kesenian. Tizar berhasil membawa wayang golek lenong Betawi ini hingga ke luar negeri. Tizar pernah diundang ke Amerika Serikat pada 2002 silam oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di Amerika, dalam rangka peluncuran buku ‘Voices Of The Puppet Master’.
TIZAR: “Wayang golek Betawi pernah saya bawa ke Amerika. Itu ada resensinya dari Washington Post. Hampir satu halaman. Saya bawakan cerita Betawi di situ. Jadi bahwa wayang ini sangat digemari dan diminati di luar negeri. Kenapa tidak bisa hidup di negeri sendiri. Makanya sekarang tergantung kita.”
Wayang golek lenong Betawi milik Tizar juga pernah digunakan sebagai media sosialisasi diabetes oleh Persatuan Diabetes Indonesia. Tahun lalu, wayang golek Betawi dikontrak hingga 10 kali pertunjukkan dengan cerita yang berbeda tiap pertemuannya. Anggota Persatuan, Roy Sibarani mengatakan, wayang golek Betawi ini cocok dipakai untuk audiens Jakarta karena ada kedekatan dialek dengan warga Jakarta.
ROY: “Kita mencoba mencari yang beda dan tetap berakar dari kebudayaan sendiri. Saya pikir kita pakai wayang saja. Wayang sebagai media komunikasinya. Jadi sebelum saya ceramah, si wayang ini mendahului dengan penerangan-penerangan tentang makanan dan penyakit diabetesnya. Jadi begitu kita tahu, kita langsung ke rumahnya.”
RICKY: “Si Ntong ni..Pak jadi gak ni kita pergi? Elu, orang kita mau pergi cek diabet di Polres Jakarta Selatan. Ntong ikut ni..Iya pok ajak aja. Anak kecil umur 13 aja uda kena. Itu ada yang pengen ikut bahasanya kagak ngerti. Obama yang datang. Wah pulang kampung ni.. bahasanya campur-campur. Takutnya dia kena diabet juga karena sering makan burger yang kolesterolnya tinggi.”
KBR68H: “Saudara saat ini saya sedang berada di depan rumah dalang wayang golek Betawi Tizar Purbaya. Memasuki halaman rumah di sisi kiri, tampak dua perajin sedang membuat wayang golek. Memasuki ruang tamu, Anda akan melihat sekitar 8 ribuan wayang golek terpajang di dinding ruangan. Ada wayang golek purwa Kebumen, purwa klasik Bogor dan cepak Cirebon. Selain itu, ada sekitar 60an wayang golek Betawi.”
Tizar memang penggemar wayang. Selain menjadi dalang wayang golek lenong Betawi, ia juga menjual aneka rupa wayang dari daerah lain. Kalau wayang dari daerah lain sudah lebih tenar, maka wayang golek lenong Betawi harus lebih dipopulerkan lagi. Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mendukung upaya Tizar. Salah satunya dengan membantu sanggar milik Tizar berbadan hukum. Ini menjadi salah satu syarat memperoleh dana hibah kesenian dari pemerintah daerah.
YAHYA: “Kita sekarang sedang mengumpulkan sanggar-sanggar, memberikan mereka, sanggar-sanggar di Betawi kan belum berbadan hukum, jadi kita berikan bantuan mereka ke akta notaris dan dibuatkan akta yayasan lembaga kesenian, apa Pak Tizar Purbaya dan lainnya sampai sekarang.”
Tizar kini meneruskan ilmu mendalang wayang golek lenong Betawi kepada anaknya, Ricky.
RICKY: “Kita jadi seniman itu jangan pikir bisa hidup. Belum tentu. 50:50. Cuma bagaimana kita hidupi karya seni kita. Saya sudah dari kecil memang tertarik dengan wayang. Karena dari kecil sudah melihat wayang.”
Pemusik tradisional Betawi Sanan berharap, kesenian wayang golek lenong Betawi bisa terus bertahan.
SANAN: “Kayaknya kalau cuma ada Tizar sama Ricky aja sulit. Yang lain idenya gak ada yang punya. Kalau kata saya, patut diteruskan. Soalnya bukan apa-apa, wayang golek Betawi itu ya baru ini. Jadi kalau tidak ada penerusnya paling cuma sampai di situ doang. Jadi patut dibudayakan, patut diteruskan.”
Tizar sendiri tak pernah risau, siapa penerus kesenian yang sudah diciptakannya.
TIZAR: “Ya itu niatnya jangan dari saya dong. Niatnya dari orang-orang. Ngapain saya mencari. Nanti habis waktunya malah gak main-main. Anak saya aja yang latihan untuk main. Kalau ada yang mau menuntut ilmu, itu harus datang dari orang itu sendiri. Atau inisiatif datang dari pemerintah daerah. Misalnya membuat sekolah wayang.”
Tizar tidak berhenti menciptakan inovasi dalam pementasannya. Dia masih bermimpi untuk memainkan cerita saduran lainnya.
TIZAR: “Iya karena dibawakan gaya lenong, ya tetap Betawi. Karena biar kita main Sampek Engtay, itu cerita Cina, tapi kalau dibawakan dalam lenong, dalam golek Betawi, ya golek Betawi. Bukan mustahil saya bawakan shakespeare yang akan datang. Romeo and Juliet misalnya saya mainkan dalam wayang golek Betawi. Bisa aja. Tapi tetap wayang golek lenong Betawi.”
Demikian SAGA yang disusun Reporter KBR68H Dimas Rizky.
No comments:
Post a Comment