Wednesday, January 21, 2009

Mendorong Industri Kreatif Indonesia


Krisis ekonomi sepuluh tahun lalu berhasil membuktikan sektor ekonomi kreatif merupakan basis ekonomi yang kuat. Berbekal modal secukupnya, ekonomi kreatif sukses membuka lapangan kerja baru. Itu sebabnya pemerintah kembali melirik sektor ini sebagai penopang pertumbuhan ekonomi sepanjang 2009. Kota Bandung bisa dibilang berada di garis terdepan dalam program ekonomi kreatif. Reporter KBR68H Sutami menelusuri kreativitas yang menghidupi anak muda Bandung.

Audio: Dengan ajakan, pesan dan harapan itu, hadirin yang saya muliakan, dengan terlebih dulu memanjatkan atau memohon ridho Allah SWT, dan dengan mengucapkan bismilahirrahmanirahim, saya canangkan tahun Indonesia Kreatif pada tahun 2009 ini

Dunia yang tengah lesu akibat krisis keuangan mesti disiasati. Karena itulah, Presiden Yudhoyono mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Ekonomi Kreatif. Pasar yang lesu, permintaan yang seret dan PHK, tahun ini bakal segera jadi kenyataan. Berbekal kreativitas, denyut ekonomi coba dipertahankan.

Audio: Suasana Jalan Bandung

Jauh sebelum tahun ekonomi kreatif dicanangkan secara nasional, kreativitas sudah mendarah daging di Bandung. Ibukota propinsi Jawa Barat ini sejak dulu dikenal sebagai gudangnya anak muda yang kreatif. Siapa tak kenal dengan beragam desain kaos, segala perlengkapan aktivitas luar ruang buatan Bandung, hingga artis papan atas macam Nicky Astria, Pass Band, dan yang terakhir The Changcutters.

Audio: salah satu lagu The Changcutters

Misalnya soal music. Musik dan Bandung seperti dua sisi mata uang. Lewat musik yang beraneka warna, muncullah beragam terobosan ekonomi. Mulai dari distribusi kaset dan CD hingga ke beragam pernak-pernik. Rambahannya pun meluas, tak hanya di dunia musik, tapi menjalar ke pakaian. Sayangnya, kata pegiat Forum Kota Kreatif Bandung BCCF, Dwinita Larasati model pertumbuhan ekonomi kreatif di Bandung selama ini masih bersifat sporadis.

Audio: Meskipun masih sporadis, Kota Bandung itu titik Industrinya kan beda-beda. Tiba-tiba kan muncul group musik ini-itu, disini muncul dari sisi fashion kalo dulu kan terkenalnya jin cihampelas, terus berkembang sekarang dah banyak FO lah, distro lah. Itu kan titiknya beda-beda lagi. Lalu ada yang kearah tradisional kaya saung ujo, ini semua masih sporadis

Karena saling menyebar, karya kreatif anak muda Bandung kerap tak bisa bertahan lama. Di ranah musik misalnya, band-band baru banyak yang mati muda. Kata Dwinita Larasati alias Tita, usia yang pendek dari sebuah kreatifitas adalah dampak tidak adanya jaringan dengan sektor lain. Karenanya, bersama teman-temannya, pengajar di Fakultas Seni Rupa ITB ini mendirikan sebuah jejaring. Namanya, Forum Kota Kreatif Bandung alias BCCF.

Audio: Networkingnya, kaya distro itu kan awalnya dari musik juga. Musik juga awalnya dari kumpul-kumpul, main skateboard misalkan. Skate board juga ada komunitasnya disini. Skateboard, mereka punya musik tertentu, mereka pingin atribut tertentu. Nah itukan melebar lagi bisnisnya. Dari musik, appareal, baju, sepatu, tas, asesoris, industri musiknya nyambung lagi kemana, viedo klip, adalagi kostum dan sebagainya. Jadi semuanya akan nyambung. Keuntungannya tuh di BCCF, kita bisa dengan mudah ketemu orang-orang ini.

Audio: Suasana Jalan Bandung

Yayasan Common Room ada di belakang pembentukan Forum Kota Kreatif Bandung, BCCF. Yayasan ini menghuni sebuah rumah asri di belakang Rumah Sakit Borromeus, Bandung. Sejak berdiri pada 2001, Common Room berambisi mewadahi segala bentuk kreativitas anak muda.

Setelah tujuh tahun bergerilya, Direktur Yayasan Common Room Gustaff Harriman mengaku berhasil memetakan pusat-pusat kreatifitas yang terserak.

Audio: Potensi-potensi yang berkembang di Bandung itu sudah bisa terpetakan secara masif. Kalo misalkan dulu tuh kita gak kenal profesi web desainer, hacker tuh apaan sih? Musisi tuh kerjanya kaya gimana sih? Sekarang kaya gimana potensinya seperti apa? Terlihat bahwa ternyata selama ini kontribusi ekonomi dari komunitas ini sangat besar. Sehingga sangat perlu diciptakan situasi-situasi yang bisa menunjang perkembangannya

Pusat-pusat kreativitas yang tersebar itu lantas dihubungkan satu per satu, oleh Gustaff dari Common Room dan BCCF. Dengan cara itu, mereka bisa saling menopang, dan harapannya, berumur panjang.

Audio: Beberapa waktu terakhir, common room secara intens, memfasilitasi pembentukan bandung creative forum dan kemudian BCCF nya jadi sebuah lembaga resmi yang mewadahi kegiatan komunitas industri kreatif untuk kemudian bernegosiasi dengan pemerintah atau sektor private, dan komuitas-komunitas. Dan ini yang saya pikir merupakan satu langkah awal mengembangkan ekonomi kreatif secara sistem ya. Karena selama ini sporadis dan tidak terpetakan dengan baik

Jika antar titik sudah saling terhubung, maka terciptalah industry kreatif yang lebih kuat. Ini bisa menggerakkan roda perekonomian. Ini bukan sekadar teori. Adi Handi, vokalis band ‘Forgotten’ membuktikan keuntungan dari teori jaringan kreativitas. Laki-laki yang disapa Adi Gembel ini menjadi saksi bangkitnya ekonomi masyarakat sekitar Ujung Berung, Bandung, tempat Adi meniti karir sebagai vokalis band metal underground.

Audio: Ide untuk jualan merchandise bandnya seperti apa? Muncul ide untuk buat tempat sablon. Muncul untuk buat studio latihan, temoat rekaman dan sebagainya. Kalo secara jumlah pastinya sih saya gak tahu pasti. Tapi yang pasti kalo dihitung dari 90-an sudah ada 30-an band yang terlibat dikomunitas itu dan menghasilkan banyak karya. Jadi kalo mau dihitung rata-rata satu band rata-rata ada 5 crew misalnya, beberapa band bikin usaha sablon juga. Si eben itu sablonya sekitar 20 pekerja.
Jumlah itu kata Adi baru untuk band dan pernak-pernik bagi para fans. Ini belum termasuk saat para band underground itu melakukan konser. Saat konser dihelat, giliran tempat penyewaan perangkat sistem pegeras suara dan panggung yang kebagian rejeki.

Audio: Lagu ‘Rock Your’ dari Forgotten

Tapi belakangan, order manggung banyak band underground jauh berkurang. Akibatnya banyak industri sampingan ikutan merana.
Audio: Lagu ‘666’ dari Forgotten

Meski punya segudang potensi kreatif, untuk menampilkan kreativitas anak-anak Bandung, jalan yang harus ditempuh tak selalu mudah. Band metal kini kesulitan manggung. Bukan hanya karena dana cekak, tapi juga karena urusan perizinan menghadang.

Audio: Lagu ‘666’ dari Forgotten

Pemicunya sebuah konser di tanggal 9 Februari 2008. Konser yang digelar band metal Beside berakhir dengan melayangnya nyawa 11 fans akibat berdesak-desakan keluar dari tempat konser, gedung AACC. Bandung mengenangnya sebagai ‘Insiden Sabtu Kelabu’. Pasca insiden itu, izin makin sulit didapat. Band Forgotten, kata vokalis Adi Gembel, ketempuhan. Kalau di tahun 2007 mereka bisa konser tiga kali seminggu, tahun lalu, jumlah konser yang mereka lakukan dalam setahun bisa dihitung dengan jari tangan.

Audio: Ada sih yang sampai 5000 (kapasitas_red) Cuma akses kesananya kan susah. Mahal, kemudian birokrasi yang mesti ditembus juga lumayan sulit, seperti itulah. Jadi memang ruang-ruang yang layak itu memang hanya mampu diakses oleh orang-orang yang punya kemampuan kapital yang besar. Sementara buat komunitasnya sendiri, sulit untuk bisa akses kesana

Efek dominonya ikut terasa sampai ke pengusaha penyewaan sistem pengeras suara dan panggung, serta pengusaha pernak-pernik band. Sebab, kata Adi, fans baru akan membeli pernak-pernik band kesayangan mereka jika bisa menyaksikan bandnya beraksi diatas panggung.

Audio: Suasana jalan Bandung

Izin yang sulit bukan satu-satunya kendala. Direktur Yayasan Common Room Gustaff Hariman menyorot soal minimnya dukungan pemerintah untuk industri kreatif. ‘Insiden Sabtu Kelabu’ yang terjadi hamper setahun silam, kata Gustaff, membuktikan pemerintah tak berpihak kepada kreativitas anak muda Bandung.

Audio: Pas diliat-liat itu memang kondisi gedung tidak layak. terus itu kan jadi pertanyaan bagaimana mungkin Bandung yang selama ini terkenal sebagai gudangnya musisi tak punya gedung konser yang layak. itu disisi infrastruktur. Dan itu diluar jangkauan masyarakat. Kita kan masyarakat biasa, bagaimana mungkin, dan kalau saya lihat itu kan masalah bagaimana kita menghargai individu juga, hak azazi

Tempat yang sudah ada pun terancam digusur.

Audio: Terus seniman-seniman misalnya, tempat pameran, bikin pameran buat seniman teh mahal gitu. Eh ini ada tempat yang biasa dibuat bikin karya di Bandung, di Babakan Siliwangi, eh Babakan Siliwanginya mau dijadikan restoran. Inikan secara perlahan-lahan sistem ini membunuh kreatifitas gitu

Supaya kreativitas tetap punya rumah, Common Room menjadikan markasnya sebagai ruang public bagi seniman. Di saat yang sama, mereka terus mendesak pemerintah menyediakan ruang memadai untuk menampung kreativitas yang berdenyut di sana. Misalnya, gedung konser yang layak.

Permintaan Gustaff dan kawan-kawannya langsung ditanggapi pemerintah kota Bandung. Juru bicara pemerintah kota Bandung, Bulgan Alamin mengatakan sudah ada lokasi khusus yang disiapkan untuk pameran dan konser.
Audio: Nah pada posisi itu pemerintah juga mengambil kebijakan merencanakan untuk membuat sebuah gedung musik misalnya, mungkin juga untuk display pameran dan sebagainya, meskipun sudah ada yang kecil-kecil. Ya kita tahu kan kalau setiap ingin langsung begitu ada kan? Bahkan untuk para seniman didaerah bandung timur sudah ada empat hektar yang rencananya 10 hektar untuk menampung para seniman itu ada kampung senilah. Model semacam itu. Nah ini untuk mendorong kreatifitas kebutuhan yang datangnya dari masyarakat

Soal modal, kata Bulgan, ditanggung pemerintah.

Audio: Bawako makmur, artinya memberikan bantuan-bantuan kepada masyarakat, permodalan dari mulai 500 ribu sampai 15 juta. Apakah itu perorangan atau pemula atau yang sudah jalan, nah pada posisi itu pemerintah mengharapkan adanya kreatifitas dari masyarakat sendiri sehingga punya nilai ekonomis. Contoh kasus misalnya kalau pak Wali bilang ada seseorang pak saya butuh modal untuk jualan surabi. Dulunya cuma asin aja rasanya, dengan bantuan 500 ribu ditambahin deh rasanya ada coklatnya, ada kejunya, ada strawbery dan macam-macam

Tapi proposal program kreativitas tak melulu dikabulkan pemerintah kota Bandung. Pegiat Forum Kota Kreatif Bandung BCCF Dwinita Larasati pernah mengusulkan sederet perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah untuk menyemangati industri kreatif Bandung. Tapi yang ada, mereka harus menelan kecewa.

Audio: BCCF udah punya usulan nih untuk pemkot, yang harus diperbaiki apa saja, misalnya pentas umum ini, gedung ini, dan sebagainya. Kita sudah sebut nih, usulan-usulan ini. Mereka bilang, sebenarnya yang diusulkan ini sudah ada didalam program kita, terus kita heran, kenapa gak jalan? Karena mereka gak tahu eksekusinya gimana? Ya tolong dong kita. Nah tolong dong kitanya itu mereka maunya dalam bentuk kita masukin proposal, mereka ajukan dananya, dananya turun tapi kita tahu apa yang terjadi setelah dana turun. Yang sampai ke kita kan Cuma berapa? 40 persen. Itu gak akan mungkin berjalan

Pilihannya, pemerintah campur tangan atau tidak sama sekali. Kata Tita, lebih baik pemerintah ada di luar arena saja, membiarkan kreativitas masyarakat tumbuh tanpa berhadapan dengan birokrasi yang berbelit dan cenderung koruptif. Seperti kata Teh Nicky Astria, uang bisa bikin mabuk kepayang.

Audio: Lagu ‘Uang’ Nicky Astria


[Sutami | KBR68H]


foto: www.helarfest.com

No comments:

Post a Comment