Tuesday, January 6, 2009

PHK Karena E-book


Enam ribuan karyawan dirumahkan pasca pemerintah menetapkan kebijakan e-book alias buku elektronik. Per Agustus 2008, buku yang boleh dipakai di sekolah adalah buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dan dalam bentuk elektronik. Penerbit yang fokus pada buku pelajaran jelas kelabakan, karena pasar mereka tiba-tiba dikuasai pemerintah. Reporter KBR68H Rio Rizalino menelusuri dampak kebijakan e-book terhadap penerbit buku pelajaran.

Tangan Juventus cekatan mencampur bahan-bahan soto di dalam mangkuk. Kol, bihun, ayam, babat dan daging ia campur jadi satu sesuai pesanan pembelinya. Tak lupa ia menuangkan kuah soto yang telah diracik dengan bumbu rempah-rempah. Juve, begitu ia biasa disapa, melakukan itu layaknya seorang koki profesional. Padahal sebelumnya, bapak dua anak ini adalah seorang Asisten Manajer Pemasaran di penerbit buku pelajaran ternama, Erlangga.

Audio: suasana kantin kampus

Dua bulan lalu Juve kehilangan pekerjaannya. Penerbit buku pelajaran tempat ia bekerja terpaksa merumahkan sebagian karyawan. Gara-garanya, program buku elektronik alias e-book yang dilansir Pemerintah sejak Agustus 2008.

Audio: Akhirnya, karena tidak ada pertimbangan lain, tidak ada tempat disini, ya sudah akhirnya saya kalau bisa dihitung-hitung saja. Sesuai aturan sajalah, kata saya. Kemudian sehari setelah itu, akhirnya diputuskan dirumahkan. Itu keputusan dari manajemen.

Juve bekerja di penerbit buku Erlangga sejak 1997. Penerbit ini adalah spesialis penerbit buku pelajaran. Setelah belasan tahun bekerja, Juve dan ratusan karyawan penerbit Erlangga mesti kehilangan pekerjaan. Juve memutar otak, bagaimana cara untuk bertahan hidup. Ia memilih pulang ke kampung halamannya, Yogyakarta dan membuka usaha sendiri: kantin soto di beberapa perguruan tinggi.

Audio: Yah saya kira kalau kehidupan sekarang berubah. Kalau dulu punya penghasilan tetap. Setoran ke istri juga tetap. Dan sekarang saya baru merintis. Kalau dulu tukang buku, sekarang tukang soto.

Audio: suasana kantin kampus

Muba Siregar adalah kawan Juve di Erlangga. Nasibnya serupa Juve, sama-sama Asisten Manajer Pemasaran yang dirumahkan karena program e-book. Tapi Muba tak seberuntung Juve yang sigap memanfaatkan peluang dan menjadi tukang soto. Hingga kini Muba masih menganggur. Muba berusaha tak bersedih.

Audio: Untuk sementara ini saya cooling down dulu. Baru sebulan kita dirumahkan, belum terpikir untuk kembali ke dunia marketing dan buku, saya belum bisa memprediksikan. (apa saja sekarang kegiatannya ?) kalau kegiatan sih belum ada, kalau dirumah santai-santai aja. Paling ketemu teman-teman.

Muba mengaku sangat terpukul karena ia sangat mencintai pekerjaannya. Ia sudah bekerja di Penerbit Erlangga sejak 1994.

Audio: Kalau di marketing ini saya sangat nikmati, saya jalani dengan baik. Terbukti dengan perjalanan begitu panjang, saya masih eksis, saya dari tahun 1994 sampai 2008. artinya itu sudah cukup menikmati. (apa sih yang bikin suka dengan pekerjaan itu ?) saya rasa tantangannya. Cukup dinamis juga.

Ikatan Penerbit Indonesia, IKAPI menyebutkan, sejak pemerintah mewajibkan program buku elektronik atau e-book, sudah 6 ribu karyawan penerbit buku pelajaran yang dirumahkan. Kebijakan ini menyebutkan, sekolah tak lagi boleh menggunakan buku pelajaran selain e-book yang ditetapkan pemerintah. Tinggal mengunduh dari situs Departemen Pendidikan Nasional, lalu gandakan semaunya karena toh pemerintah sudah membeli hak cipta buku-buku tersebut selama 15 tahun.

Akibatnya, penerbit yang selama ini memasok buku pelajaran kehilangan pasar mereka. Penerbit harus menelan kerugian hingga ratusan juta rupiah. Asisten Direktur Penerbit Buku Erlangga Dharma Hutauruk mengatakan, sejak ada e-book, omzet penerbit Erlangga turun hingga separuhnya. Sepertiga karyawan Erlangga terpaksa dirumahkan.

Audio: Yah sekarang sudah sekitar 30 persen. Terutama dibagian sales, pemasaran dan editorialnya. (30 persen dari berapa ?) kita ada sekitar 3000 karyawan.

Kerugian bakal berlipat ganda, kalau menghitung buku yang terlanjur dicetak. Buku-buku itu masih teronggok di gudang, tak bisa dipasarkan lantaran sekolah tak lagi diperbolehkan menggunakan buku pelajaran secara fisik.

Audio: Berapa juta eksemplar itu, barang-barang yang sudah kita cetak tapi tidak bisa kita jual. Jelas itu yang membuat kita tidak melanjutkan pekerjaan kita. (sudah dicetak tapi tidak bisa dijual ?) iya. Saya rasa penerbit buku lainnya bisa mencapai puluhan juta eksemplar.

Tak semua penerbit sudah bernasib seperti Erlangga. Kalaupun masih bisa bertahan, bayang-bayang bangkrut tetap menghantui. Seperti penerbit buku pelajaran Bumi Aksara, yang berdiri sejak 1995. Direktur Utama Bumi Aksara Lucya Andam Dewi mengatakan, kerugian pasca kebijakan e-book mencapai milyaran rupiah. Jutaan eksemplar buku pelajaran yang telah dicetak, kini hanya menumpuk di gudang.

Audio: Itulah yang kita bingung, mau kita apakan ? masa mau di kilo atau dicincang ? aduh sedih banget. Itu kan hasil pemikiran penulisnya. Buku apapun saya rasa dibuat bukan dengan asal, ngga semata-mata buku itu bisa jadi dengan begitu saja.

Lucya mengatakan, perusahaan berupaya tak merumahkan karyawan. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengembangkan produk buku. Tapi kemungkinan PHK tetap ada.

Audio: Kenapa saya bilang Bumi Aksara belum, bukan belum tapi bisa iya tidak. Mungkin kalau perusahaan lain bisa lebih cepet, sudah sebulan dua bulan lalu melakukan itu. Tapi apakah itu yang akan terjadi, itu pasti. (bagian apa saja yang akan dirampingkan ?) yang pasti yang di departemen buku pelajaran.

Ada 200an penerbit khusus buku pelajaran di bawah Ikatan Penerbit Indonesia, IKAPI. Ketua Umum IKAPI Setya Dharma Madjid mengatakan, kini penjualan semua penerbit buku pelajaran mandek.

Audio: Kan penerbit anggota IKAPI itu 900, yang menerbitkan buku pelajaran sekitar 200. Dari 200 itu kalau punya karyawan 500 aja udah berapa ribu tuh. Ada penerbit yang punya karyawan sampai 10.000. dengan sales yang seluruh Indonesia. Kalau dia mengurangi salesnya saja, bisa sampai 10,000 orang.

Perusahaan penerbit buku pelajaran jelas tak bisa melawan kebijakan buku elektronik alias e-book yang telah memangkas penghasilan mereka. Kata Setya Dharma, kalaupun tak bisa menerbitkan buku baru, mereka hanya ingin buku pelajaran yang terlanjur dicetak bisa dihabiskan stoknya.

Audio: Ya udah, kalau sekarang pemerintah tidak mau merubah kebijakan, kita minta buku-buku yang sudah dicetak ini diperjualbelikan dengan harga yang ditetapkan bersama, supaya habis. Setelah itu pemerintah mau bikin e-book silahkan. Jadi penerbit stop bikin buku pelajaran. Selesai kan ?

Sebetulnya seperti apa program buku elektronik alias e-book dari pemerintah?

Polemik tentang buku elektronik atau e-book bermula ketika Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo mengeluarkan Peraturan nomor 11 tahun 2005. Peraturan itu menyebutkan, buku pelajaran yang digunakan di sekolah adalah buku yang lolos sertifikasi dari Badan Sertifikasi Nasional Pendidikan, BSNP. Buku-buku tersebut bisa digunakan selama lima tahun. Itu artinya, dari tahun 2005 sampai tahun 2010.

Sesudah peraturan itu dikeluarkan, penerbit buku pelajaran berlomba-lomba membuat buku dan mensertifikasikannya ke BSNP. Setelah lolos sertifikasi, buku lantas dicetak sebanyak-banyaknya.

Namun belum sampai lima tahun, bulan Agustus 2008 lalu Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan baru, yaitu Nomor 2 tahun 2008. Peraturan ini menyebut, e-book wajib digunakan di sekolah sebagai satu-satunya media belajar. Untuk mendapatkannya, siapapun bisa mengunduh di situs resmi Depdiknas, juga boleh menggandakan sebanyak-banyaknya. Karena toh Pemerintah telah membeli hak cipta selama 15 tahun dari 400 lebih judul buku pelajaran.

Pemerintah juga menetapkan harga eceran tertinggi e-book, bagi yang ingin menjualnya, seharga 20.000 rupiah. Juru bicara Departemen Pendidikan Nasional, Muhajir mengatakan, e-book diwajibkan agar buku pelajaran menjadi murah sehingga mudah diperoleh masyarakat kecil.

Audio: Siapa saja, bukan hanya Depdiknas. Orang kecil, orang tengah, orang atas boleh menggandakan buku itu. Itu kan pembajakan yang halal. Karena hak ciptanya sudah dibeli pemerintah. Siapa saja boleh memperjualbelikan.

Ini dia yang bikin IKAPI kelimpungan. Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia, IKAPI, Setya Dharma Madjid mengatakan, karena e-book boleh diperjualbelikan oleh siapapun, penerbit buku pelajaran merasa dikebiri haknya.

Audio: Memang waktu pemerintah mau bikin e-book, penerbit mendukung. Tapi yang menjadi maslaah sekarang pemerintah mengijinkan obook yang ada di internet itu digandakan oleh siapa saja. Kalau dia digandakan secara gratis, kita tidak masalah juga. Tapi kalau digandakan lalu diperjualbelikan, ini yang ngga bener.

Selain itu, penerbit juga merasa ditelikung, karena kebijakan e-book muncul ketika mereka sudah terlanjur mencetak buku-buku pelajaran.

Audio: Yang kedua ada peraturan yang mengatakan buku yang dipakai hanya yang digandakan itu, dari e-book. Sedangkan buku-buku penerbit yang sudah lulus, yang berlaku lima tahun tidak boleh. Ini yang jadi masalah. Jadi sebenarnya kalau pemerintah mau mengubah kebijakan hanya ebook yang digunakan di sekolah, silahkan saja. Tapi kasih tau dulu dari awal, supaya kita tidak nyetak. Ini kita sudah cetak banyak, berlaku lima tahun, tiba-tiba di stop. Berapa kerugiannya ?

Penerbit mengaku angkat tangan kalau diminta membuat buku dengan harga jual eceran tertinggi hanya Rp 20 ribu. Menurut Direktur Utama penerbit buku Bumi Aksara Lucya Andam Dewi, biaya produksi buku paling murah sekali pun biayanya lebih besar dari itu.

Audio: Kami penerbit sebenarnya mendukung kalau ingin membuat buku murah. Tapi murahnya buku itu kan tidak semata-mata hitungan kertas. Untuk menilai suatu buku menjadi buku yang baik, itu butuh biaya yang besar. Perlu riset dan sebagainya. Kalau pemerintah mengatakan penerbit harus bikin buku murah, ok kita akan buat. Tapi pemerintah juga dukung dong.

Asisten Direktur penerbit buku Erlangga, Dharma Hutauruk mengusulkan, sebaiknya pilihan menggunakan buku diserahkan kepada orangtua siswa dan guru; mau pilih e-book atau buku biasa. Karena itulah, Erlangga tetap memasarkan buku-bukunya.

Audio: Kalau untuk buku pelajaran kita akan terus berjuang untuk menyampaikan kepada publik dan masyarakat kalau buku-buku adalah yang terbaik. Soal umpamanya nanti banyak guru atau siswa yang membeli BSE, saya kira itu keputusan mereka sendiri.

Departemen Pendidikan Nasional bersikukuh, e-book adalah yang terbaik. Juru Bicara Depdiknas Muhajir mengatakan, dengan e-book, buku tak lagi berganti setiap tahun, pun murah karena tinggal diunduh dan difotokopi.

Audio: Hampir setiap tahun buku pelajaran ganti dan harganya semakin tinggi. Nah pemerintah melalui depdiknas memudahkan melalui e-book dan pembelian hak cipta. Kan gitu. Sehingga masyarakat yang punya siswa bisa menjangkau buku dengan murah dan mudah.

Direktur Utama penerbit buku Bumi Aksara Lucya Andam Dewi membantahnya.

Audio: Karena kan ketika mau diakses, dia kan harus diprint dan sebagainya. Justru itu tidak akan membuat e-book menjadi murah. Karena mempunyai kendala yang demikian, akhirnya pemerintah menyatakan siapapun boleh mengcopy buku dari internet.


Depdiknas berkelit, menurut Muhajir, dinas-dinas pendidikan di tiap sudah mendapatkan cakram padat berisi buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya itu.

Audio: Semua kepala dinas, pemda itu sudah disiapkan semua. Sudah dibekali, cd-cd diberikan. Kemudian dicetak setempat. Tidak usah dari jawa lagi. Itu di 33 propinsi sudah bertemu dengan mendiknas, untuk diproduksi dan diberikan ke masyarakat setempat.

Padahal, ini justru memunculkan potensi monopoli pemasaran buku pelajaran di Indonesia. Koordinator Kelompok Independen untuk Advokasi Buku Fitriani Sunarto mengatakan, pemerintah jadi satu-satunya pemain dalam pasar buku pelajaran di tanah air.

Audio: Yang lebih gawatnya lagi adalah peraturan yang memayungi e-book ini, yakni permendiknas no. 2 tahun 2008. disitu ada pembedaan antara buku-buku yang telah dibeli hak ciptanya dengan yang tidak. Untuk buku-buku yang hak ciptanya dibeli, mulai staf departemen hingga pendidik bisa menjadi distributor dan pengecer. Bayangkan, mereka di dorong untuk menjual buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya.

Gelagat serupa dicium oleh Ketua Umum IKAPI, Setya Dharma Madjid. Karena itulah, IKAPI melaporkan Depdiknas ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU.

Audio: Seperti sekarang, dengan dia mengatakan bahwa hanya e-book yang boleh, itu kan monopoli. Kami sudah lapor ke KPPU. Bahwa Cuma buku itu yang boleh di sekolah, buku lain tidak boleh. Sedangkan buku ini lulus juga. Ini kan namanya monopoli. Kan kalau seseorang menetapkan hanya ini saja yang boleh, itu kan monopoli.

IKAPI, kata Setya, juga telah mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono akhir September lalu, meminta negara mempertimbangkan ulang program e-book.

Audio: Menterinya saja kita kirim surat tidak ada reaksi. Jadi kita kirim surat keatasannya.Dan selaku warga negara, kita pantas berteriak ke pemerintah, yakni presiden. Kalau begini, kita begitu. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan juga dari presiden. Saya tidak tahu kenapa.

Audio: suasana kantin

Juve kini sudah beralih dari tukang buku ke tukang soto. Sementara Muba, masih tak tahu harus bekerja sebagai apa pasca di-PHK dari penerbit buku pelajaran gara-gara program buku elektronik, e-book.

Audio: Ditinjau olang, kalau perlu nitu dihilangkan. Tidak perlu lagi. Yang penting ada peraturan guru tidak boleh menjual buku. Selesai sebenarnya itu. Ga usah repot-repot.

Audio: Kalau harapan saya, pemerintah meninjau ulang peraturan itu. Mari kita mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan bersama masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta. Berilah kesempatan bagi pihak-pihak lain untuk mengembangkan pendidikan ini.



[Rio Rizalino | KBR68H]


foto: http://sbelen.files.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment