Wednesday, April 20, 2011

Jual Beli Air di Muara Baru

Air bersih masih jadi barang mewah di daerah waduk Muara Baru, Jakarta Barat. PAM tak mengalirkan air, karena banyak warga tak beridentitas jelas hidup di sana. Lantas muncullah penjual-penjual air dari daerah tetangga. Seperti apa praktik jual beli air di sana? Reporter KBR68H Nanda Hidayat berkunjung ke sana.









Jual Beli Air di Muara Baru by sagakbr68h



BLOK I


ATMOS: suara air waduk

Ini di tepi waduk yang berisi air berwarna hitam pekat, tercemar limbah dan sampah.

KBR68H: Ada seribuan warga tanpa identitas kependudukan yang tinggal di bantaran waduk Muara Baru Jakarta Barat. Sebagian besar mereka yang tinggal di sini ialah warga miskin kota yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis ataupun masyarakat tanpa pekerjaan.



Warga sudah tinggal di sini selama lebih 10 tahun. Berkali-kali kena operasi penertiban, lantaran mereka tak punya KTP. Tapi warga tak juga pergi, karena kebutuhan hidup memaksa mereka bertahan.

ATMOS: suara air waduk

Bilik-bilik warga hanya dibuat dari kayu dan plastik, beralaskan sisa potongan kayu. Luasnya tak lebih dari 3 meter persegi. Tapi tinggal di sana tak gratis. Warsih yang sudah menetap di sana sejak 1981 mengaku harus bayar 200 ribu rupiah per bulan. Uang ini diserahkan kepada seseorang yang mengaku sebagai utusan warga, tanpa tanda terima.

Warsih tak keberatan. Dengan uang segitu, ia dapat rumah, juga fasilitas air bersih dan listrik, meski Warsih tak punya KTP.

WARSIH: Ngontrak saya dari tahun 81 mulai dari Rp 5 ribu sampai sekarang ada yang Rp 150 (ribu), ya namanya nggak punya laki. Kontrakannya sekamar 2x2 dan sama air saya Rp 200 ribu. Namanya orang kayak saya kerjanya nyari kardus, dan satu hari saya kumpulkan Rp 20-30 ribuan gitu, ntar tiap bulannya baru saya bayarkan untuk kontrakan.

Waduk memisahkan tempat tinggal warga yang punya dan tak punya KTP di Muara Baru. Di tempat warga tak ber-KTP, jangan harap bisa mendapatkan air bersih, karena perusahaan distribusi air minum tak mau masuk ke sana. Air harus dialirkan lewat selang sepanjang 20 meter, dari wilayah Muara Baru, yang warganya ber-KTP.

Setiap bilik mendapat jatah 500 liter air, setara dua drum ukuran besar. Warga baru bisa mulai menerima air pada tengah malam.

WARSIH: Kalau yang lain nggak jalan, adanya malem. Kalau yang punya mesin air sih jalan, tapi kalau yang nggak punya mesin air disalurkannya malam-malam.
KBR68H:Disalurkannya pake apa bu?
WARSIH:Pakai selang.
KBR68H:Dapetnya berapa liter?
WARSIH : Kalau saya sehari 2 drum yang gede itu untuk dua hari.

Tapi air ini bau amis, juga tercemar limbah di waduk. Sebab alat penyaring sampah di waduk tak berfungsi. Warsih memilih untuk membeli air minum kemasan untuk dikonsumsi.

WARSIH: Hanya untuk mandi pagi dan sore aja, kalau minum saya beli Aqua.
KBR68H: Kenapa nggak minum dari sana?
Warsih : Nggak mau saya, Aqua galon kan ada, ya saya beli aja Rp 4 ribu, ya mendingan Aqua galon aja sih.

Afandi menambahkan, warga Muara Baru tak punya banyak pilihan. Air bersih harus dibeli dengan harga mahal. Tapi ada juga yang terpaksa meminum air kotor ini.

Para penghuni bilik di bantaran waduk Muara Baru ini adalah warga miskin, seperti pengemis dan pemulung. Pendapatan mereka per bulan tak lebih dari Rp 500 ribu. Setengah dari penghasilan, untuk beli air bersih.

ATMOS: Suasana gerobak air jalan melintas di Muara Baru

Jual beli air bersih di Muara Baru sudah berlangsung sejak awal 1980-an. Kawasan ini berdekatan dengan air laut, sehingga warga sulit mendapatkan air tawar yang layak dikonsumsi. Apalagi mereka yang tinggal di sini dianggap warga liar, lantaran tak punya KTP. Perusahaan distributor air bersih di Jakarta menolak menyambungkan pipa-pipa air bersih ke sana.

ATMOS: Suasana gerobak air jalan melintas di Muara Baru

Kondisi ini memunculkan pedagang-pedagang air seperti Rohman. Sudah 10 tahun ia berkecimpung di bisnis ini. Ia menjadi salah satu penyalur air terbesar di kawasan Muara Baru. Selain menyalurkan air bersih lewat selang langsung ke bilik-bilik warga, Rohman juga berkeliling menjual air dengan gerobak. Setiap dua jerigen ukuran 20 liter, dijual seharga Rp 20 ribu.

ROHMAN: Ini kadang sehari 12 gerobak atau 10 gerobak, satu pikul itu dijualnya Rp 2 ribuan.
KBR68H: Memang di sini air susah pak?
ROHMAN : Susah, kadang sering mati dan airnya asin lagi.
KBR68H: Prospeknya bagus Pak jualan air ?
ROHMAN:Ya Alhamdulillah anak bisa sampai kuliah semenjak saya jualan air. Saya sudah tujuh tahunan di sini jual air, apalagi di sini susah air dan airnya asin apalagi sering banjir lagi

Di usia separuh abad, Risah juga terus menjajakan air bersih ke kampung-kampung. Sembari mendorong gerobak, ia berkeliling mencari uang untuk makan. Di rumahnya, air mengalir lancar lewat perusahaan distribusi air . Karenanya ia harus menyisihkan Rp 500 ribu per bulan untuk membayar tagihan listrik dan air.

RISAH: Kalau bayar air kadang-kadang Rp 5oo ribu terkadang lebih, listrik juga bayar kemaren Rp 125 ribu dan bayar air dan listrik juga belum pernah telat. Ya bagaimana ibu baginyalah agar bisa bayar listrik. Ya untungnya paling seliter dan dua liter untuk sehari-hari belanja makan.

Risah lebih memilih berjualan air dengan berkeliling kampung, ketimbang menyalurkannya lewat selang. Sebab, di sektor ini lebih banyak pesaingnya. Risah sudah banyak pelanggan tetap. Karena itu, Dia langsung mengunjungi tiap pintu rumah langganannya.

RISAH: Kalau dulu yang pasang ledeng masih jarang dan lumayan pendapatannya. Kalau sekarang yang pasang sudah banyak dan pendapatannya udah kurang, sementara tenaga juga sudah tua. Ya gimana kalau nggak nyarinya dari gitu ya bagaimana.



Ini praktik ilegal, kata LSM Masyarakat Miskin Kota UPC. Aktivis UPC Edi Saidi mengatakan, air bersih adalah hak dasar semua warga, tak boleh jadi obyek jual beli. Edi Saidi menuding, bisnis jual beli air ini dipelihara oleh oknum pegawai distributor perusahaan air minum.

Di wilayah Muara Baru ini, distribusi air dipegang oleh PAM Lyonnaise Jaya atau Palyja. Edi mencium ada kongkalingkong antara pegawai Palyja dan masyarakat untuk bisnis jual beli air. Diantaranya mengatur meteran pemakaian air, sehingga lebih rendah dibandingkan pemakaian sebenarnya. Kasus seperti ini sudah banyak dilaporkan ke UPC, kata Edi.

EDI: Mereka kerjasama dengan oknum Palyja kemudian memainkan meteran itu. Dan jual beli air dan beberapa kali sudah dirazia itu tapi masih berlangsung terus dan ada kerjasama dengan orang dalem juga gitu. Kami pikir daripada praktik ilegal itu berlangsung, diizinkan saja air itu masuk dengan demikian Palyja untung karena akan semakin banyak pelanggannya itu.

Mengapa Palyja tak mau masuk ke Muara Baru secara legal, demi memutus bisnis jual beli air?

BLOK II

ATMOS: Suasana gerobak air jalan melintas di Muara Baru

PT PAM Lyonnaise Jaya atau Palyja menetapkan standar penjualan air bersih sebesar Rp 1050 per meter kubik. Air itu bisa dibeli langsung ke hidran milik Palyja, termasuk yang ada di wilayah Muara Baru. Kebijakan ini hanya diberlakukan di daerah yang termasuk kawasan susah air dan berdekatan dengan laut. Selain di Muara Baru, kebijakan serupa berlaku di Tanjung Priok dan Sunter.

Juru bicara Palyja Meyritha Maryanie mangatakan, harga jual air lewat hidran ini jauh di bawah harga air yang secara resmi ditentukan Palyja . Air itu seharusnya dipakai langsung oleh warga yang membelinya, tidak untuk diperjualbelikan. Tapi tak ada sanksi bagi mereka yang menjual kembali air tersebut. Apalagi, warga-warga liar di Muara Baru lebih memilih membeli air lewat pedagang keliling, ketimbang mengambil langsung ke hidran, meski harganya lebih mahal.

MEYRITHA : Sebetulnya kita meminta masyarakat untuk berupaya sendiri dan datangi kios air itu yang radiusnya melayani 200-an keluarga dan mereka mendatangi kios air sehingga mendapatkan harga murah. Tapi kemungkinan besar si pemilik kios air memiliki dorongan dan si pemilik rumah sebagai pelanggan ingin sampai ke depan rumah dan harganya bisa mencapai Rp. 2500 – Rp. 5000 kisarannya kan.

Sementara Palyja bersikukuh tak mau memasang saluran air di wilayah Muara Baru, karena warganya tak punya identitas jelas.

MEYRITHA: Persyaratan pasang baru sendiri nanti kita akan melakukan survey apakah di daerah itu ada pipa jaringan kita, dan syarat lainnya harus ada PBB dan KTP. Kalau ngak ada PBB kita nggak bisa menyambungkannya karena berarti daerah itu ilegal atau pemukiman liar dan kita nggak bisa melayani karena harus tunduk kepada peraturan gitu.

Dua tahun lalu, LSM Masyarakat Miskin Kota UPC mendampingi warga bantaran waduk Muara Baru datang ke Palyja. Untuk kesekian kalinya, mereka meminta akses saluran air bersih. Lagi-lagi, ditolak.

Aktivis UPC Edi Saidi mengaku tak heran bila praktik jual-beli air bersih tanpa aturan jelas ini bakal makin menjamur. Buktinya, sejak awal 80-an hingga sekarang praktek jual-beli air masih banyak ditemui di kawasan Muara Baru, meski jaringan air PAM sudah masuk. Tiap 100 meter, gerobak-gerobak penjaja air bersih akan ditemui. Ini bakal terus terjadi selama warga di sana dianggap sebagai warga ilegal, tanpa KTP.

EDI: Sebetulnya aturan Palyja nggak boleh untuk jual-beli air dan hanya untuk kebutuhan rumah tangga saja dan tidak boleh dijualbelikan kepada pelanggan. Tapi bagaimana lagi gitu kan mereka sudah mengajukan izin untuk menjadi pelanggan air bersih dan nggak diberi.

Sementara para pedagang air bakal terus bergelut di bisnis ini, selama tak ada sanksi yang menanti.

SYAIFUL: Jualan air tahun 72 dan itu samapai sekarang dan dari pada kerja lainnya susah angguran kerja jualan air bebas dan nggak di bawah perintah sama orang dan kalau lagi banya pembeli ya dapet banyak

RISAH : Ya gimana kalau nggak nyarinya kayak gitu gimana dan orang butuh makan,paling itu sepikul dua pikul karena sepikul itu dua dirijen kau dua pikul itu empat jerigen.

Dan warga ilegal di bantaran waduk Muara Baru belum akan dapat akses air bersih sampai waktu yang tak terhingga.

Demikan SAGA yang disusun Reporter KBR68H Nanda Hidayat.

No comments:

Post a Comment